Segara

Desember 28, 2020


I’m all ears,” ujarnya tulus diikuti ringisan yang memperlihatkan deretan gigi depannya. Aku tertegun mendengarnya. Ini kali pertama seseorang menawarkan diri sebagai pendengar keresahan yang tengah menyesakkan dadaku. Kutatap matanya dalam, untuk meyakinkan diriku bahwa ia benar-benar bersedia mendengarkan. Pasalnya, tidak sedikit telinga yang bersedia mendengarkan tapi sedikit ketulusan untuk memahami.

Not now. Besok-besok atau kapan aja butuh bercerita, ceritalah, aku yang mendengarkan,” imbuhnya, seolah membaca kekhawatiranku.

Thanks, next time yaa,” ujarku, masih diliputi khawatir. Kadang bagi orang-orang yang kesulitan mengurai isi kepalanya sendiri, kepada siapa ia bicara adalah pertimbangan penting—sebab, ia hanya khawatir kerumitannya semakin dibuat rumit.

Suatu ketika, ia terburu-buru menemuiku setelah aku yang meneleponnya tanpa bicara apa pun, kemudian kuputuskan sambungannya begitu saja. “Kenapa mau repot datang kemari?” tanyaku, begitu melihatnya tersenyum setelah menarik kursi dan duduk di depanku.

“Kayaknya kamu yang lebih repot,” ujarnya, tapi bukan jawaban dari pertanyaanku. Sebenarnya aku butuh alasan, mengapa ia bersedia datang menemuiku, jika alasannya cukup membuatku merasa aman, maka mungkin saja aku bisa menjadikannya pendengar.

"Kamu repot banget pake nanya kenapa, emang kalau aku kasih tahu kenapa aku maksa kita ketemu di sini, lalu kamu mau cerita sesuatu, gitu?” Imbuhnya, telak membuatku tertegun setiap kali seolah ia mampu membaca kekhawatiranku.

"Aku rumit banget ya, apa semua orang yang sedang berada pada titik terendah dalam hidupya juga akan kesulitan mengurai isi kepalanya sendiri? Banyak mau, banyak yang dituntut, banyak yang menuntut, banyak pula yang nggak bisa dipenuhi, sampai rumit sekali untuk diurai,” ujarku lirih.

“Kamu itu, aku tiga tahun yang lalu,” ia memotong kalimatku. Aku terdiam dibuatnya, sesuatu berdesir di dalam dadaku. Rasanya belum pernah dimengerti seperti ini—dimengerti meski belum bicara apa pun.

“Setiap kita pernah mengalamai fase titik terendah, memertanyakan tujuan hidup dan peran yang bisa kita ambil di dalamnya. Nggak jarang ingin berhenti, menyerah begitu saja hanya karena kelelahan. Aku sudah melalui fase itu, aku tahu apa yang paling orang-orang butuhkan pada fase itu. Ia hanya butuh didengar dan dipahami, selebihnya ia lebih tahu kemana ia akan melangkah. Jadi itu mengapa aku menawarkan diri menjadi pendengarmu dan berusaha memahami apa pun yang sedang kamu hadapi. Barangkali hanya itu yang paling kamu butuhkan sekarang,” jelasnya.

Tiba-tiba bulir bening di sudut mataku meluncur begitu saja. “Heee, sorry kelepasan nih,” ujarku. Cepat-cepat kubersihkan tetesan air mataku yang sialnya justru semakin deras dan dadaku semakin sesak. Benteng pertahananku runtuh, hatiku luluh ketika kudapati ia yang menatapku lekat dan tersenyum lega di balik pandangan mataku yang berkaca-kaca.

“Kamu bisa bawa aku ke tempat lain? Kemana pun, biar bebas nangis tanpa diliatin orang banyak gini,” ujarku lirih di antara isak yang masih belum mereda.

Sure,” ia berdiri dan mengarahkanku ke luar dari kedai.

“Aku nggak akan tanya apa pun dan kamu nggak perlu bicara apa pun sampai kamu merasa cukup untuk menangis. Bahkan kalau sampai nanti kita sampai di tempat tujuan. Take your time till you feel enough. Remember that I’m all ears, mungkin tangismu juga butuh di dengar,” ujarnya meyakinkanku, sebelum memulai kemudinya.

Di posisi saat ini, aku paham kenapa anak kecil yang terjatuh meski nggak terlalu sakit ia bisa menangis kencang ketika orang-orang di sekitarnya peduli dengan rasa sakit itu, mengatakan bahwa ia baik-baik saja, nggak perlu menangis atau bahkan menyalahkan batu dan lantai yang membuatnya terjatuh. Kita akan merasa lemah ketika ada orang yang memedulikan rasa sakit kita. Tapi ini justru yang membuat kita merasa lebih baik setelahnya. Toh, nggak harus selalu terlihat kuat kan?

Ini benar-benar pertama kali aku merasa didengar, dipedulikan dan dipahami begitu dalam. Maka sepanjang perjalanan aku hanya menangisi diriku sendiri. Bahkan untuk bertanya kemana ia akan membawaku pergi pun aku nggak sanggup.

“Segara,” isakku sudah mereda sejak beberapa saat yang lalu kami tiba di tempat yang ia tuju. Ia membawaku ke tepi tebing karang yang curam, sejauh mata memandang ke depan kutemukan laut yang berbatas garis lurus dengan langit.

“Ya, are you okay?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk sembari memastikan ke sekelilingku. Kuturunkan kaca di pintu sebelah kiriku, membiarkan angin laut menerpa wajahku.

“Keluar yuk,” ajaknya yang lebih dulu membuka pintu.

“Kamu nggak akan nyuruh aku terjun dari sini, kan?” Tanyaku ketika kami sampai di ujung tebing.

“Aku nggak nyuruh, tapi memersilakan kalau memang kamu menyesal udah nangis sepanjang jalan, membiarkanku mendengarnya dan itu membuatmu merasa lebih buruk daripada menyimpannya sendirian,” ujarnya dibarengi kekehan kecil. Aku hanya berdecih menanggapi.

Hening beberapa saat, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Nggak bisa kupungkiri, di antara sekian banyak penyesalan akan hal yang telah kulakukan, menangis di depan Segara bukan salah satunya.

“Udah bisa cerita?” Tanyanya.

“Setelah nangis sepanjang jalan di samping Segara yang ini dan kamu masih merasa belum bisa menceritakan perasaanmu, kamu bisa cerita sama segara yang di depan,” imbuhnya sembari mengangkat dagu seolah menunjuk laut lepas.

“Terus, Segara yang ini tutup telinga?” Ujarku, menyenggol lengan kirinya.

Maka, sore itu di atas tebing karang yang menghadap Samudera Hindia adalah kali pertamaku mengurai isi kepalaku yang terlalu rumit untuk diriku sendiri. Bertahun-tahun setelah hari itu pun masih sama, aku yang rumit dan Segara yang selalu bersedia mengurai kerumitanku, menjadi pendengar yang baik dan menjadi orang yang paling memahamiku dengan baik. Hanya saja saat ini, misteri dua anak manusia yang selalu butuh didengar dan selalu bersedia menjadi pendengar sudah saling menemukan.

“Udah lega, kan? Sini peluk,” ujarnya sembari menarikku ke dalam pelukannya.

I’m all ears too. Katanya kamu juga butuh bercerita? Sekang gantian aku yang mendengarkan,” bisikku tepat di telinganya.

"Anak-anak nunggu di mobil, kalau kamu lupa," ujarnya sembari mengurai pelukan kami.

-----------------------------------------------------------------

Kumpulan Cerpen: Dua Anak Manusia

Ratna Asih | November 2020

Sumber Gambar: By Lachlan Ross on  pexels.com 


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images