“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” Tanyaku akhirnya, setelah
lima belas menit menjadi pendengar impian-impiannya.
“Rencanaku?” Ia memastikan pertanyaanku, tangannya berhenti
mengaduk secangkir cappucino. Ia tersenyum usai helaan napas yang nampaknya
begitu berat.
“Rencanaku, mengikuti rencana-Nya,” ujarnya kemudian, ringan,
tapi terdengar sumbang. Ia meneguk isi cangkirnya pelan. Aku diam mengamati—tak
paham lebih tepatnya.
Lawan bicaraku ini, adalah seorang yang tegar. Ia adalah
pemimpi, pengejar impian yang tangguh. Aku masih ingat ketika tiga tahun yang
lalu, akhirnya ia menyerah mengikuti berbagai tes masuk perguruan tinggi,
hingga akhirnya bekerja di firma milik temannya. Dua tahun bekerja, dan satu tahun bekerja
sembari kuliah. Dia nampak kewalahan, tenaganya terlalu diforsir untuk bekerja
dan belajar. Aku paham betapa ia jungkir balik membagi waktu, menyisihkan gaji,
dan berjualan online untuk menambah penghasilan.
Setahun yang lalu, dia meminta pendapatku ketika memilih
program kuliah. “Mau tidak mau aku harus kuliah tahun ini, aku sudah mantap
mungkin ini rencana-Nya,” ujarnya.
“Pekerjaanmu?”
“Sembari bekerja. Bagaimana pendapatmu tentang pogram
perkuliahan e-learning? Ini akan sangat membantuku untuk bisa bekerja sembari
kuliah.”
“Bagus, baru pernah dengar sih. Tapi sepertinya ini lebih
baik daripada kuliah malam Senin-Jumat. Ijazah sama, kan? Dengan regular.”
“Iya, aku hanya butuh dua jam setiap malam untuk kuliah
e-learning di rumah dan sembilan jam setiap hari Sabtu di kampus. Tapi Sabtu
berat juga, kalau harus izin dari kantor.”
Entah mengapa, setiap impiannya
selalu ia sampaikan dengan jeda “tapi”.
Dadaku bergetar, entah untuk apa. Selalu begitu setiap mendengar impian yang ia
ceritakan.
Kami bukan teman dekat yang
kemana-mana selalu bersama, bahkan jauh dari itu. Jarak, waktu, dan kepentingan
entah bagaimana untuk digambarkan, bahwa kami memang tidak pernah sekadar
nongkrong berdua atau pun rutin bertukar kabar. Bahkan sejak hampir lima tahun berkenalan,
ini pertama kali kami duduk berdua sekadar menikmati kopi di kafe favorit—Ah
tidak, kami tidak sengaja bertemu, sebab hujan membuat kami berteduh di sini.
Tapi entah apa yang membuat kami
saling bertukar cerita tentang rencana-rencana, impian, dan pendapat. Seperti
ada benang merah yang masih terpintal di dalam misteri-Nya.
“Mas, apa rencanamu setelah lulus?” Kalimatnya membuatku sedikit kaku—belum kembali sepenuhnya dari pikiran
tentangnya.
“Ehm... rencanaku, kembali
melanjutkan pengembangan start up sembari memperjuangkan beasiswa S2. Itu
rencanaku, tapi kalau rencana-Nya nanti aku diterima kerja, ya aku ikut
rencana-Nya.”
“Start up, Mas? Itu impiamu banget,
kan?” Kali ini matanya begitu berbinar, entah ada apa di sana.
“Yup, selangkah lagi sebenarnya. Start up yang sudah kubangun sejak lima tahun yang lalu, dirintis sedikit demi
sedikit, tapi rupanya masih kekurangan energi untuk membuatnya bertumbuh
sebagaimana mestinya. Rencana untuk menumbuhkannya adalah rencanaku, tapi jika
rencana-Nya ada yang lain, aku mengikuti rencana-Nya saja.”
“Modal ya, Mas? Tapi mengikuti
rencana-Nya bukan berarti kamu menyerah, kan?”
“Mana mungkin menyerah. Kamu
sendiri yang bilang kalau Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya menyerah oleh
keadaan. Bukankah rencana-Nya pasti lebih baik dari rencana kita?” Ia mengangguk, mengangkat cangkirnya
lagi, meneguk sedikit sembari menarawang hujan yang semakin deras.
“Mas, lelah oleh keadaan boleh nggak
sih?”
“Boleh, yang nggak boleh itu menyerah
karena keadaan.”
“Mas, kamu jangan menyerah ya? Semoga
rencanamu adalah rencana-Nya,” ujarya mantap. Lagi ada binar di matanya—aku tak
sanggup memandangnya.
Bagaimana mungkin aku menyerah, jika salah satu alasan untuk tetap
berjuang adalah orang setangguh dirimu. “Aamiin, Yaa Rabb... Kamu juga ya. Jangan pernah
menyerah, jangan kalah sama lelah, istirahatlah setiap merasa lelah dan setiap
kau memerlukannya.”
“Mas, omong-omong sebab apa nih hujan
gini kok kebetulan kita bisa ketemu di sini ya? Padahal nggak pernah ada
janjian.”
“Sebab hujan tentang rencana-Nya.
Kamu percaya kebetulan?”
“Ah iya, kita pernah ngobrol tentang
hujan, rencana, dan kebetulan. Kapan ya? Ah lupa dulu pokonya,” kami terkekeh
bersama.
“Ya kita ngobrol di BBM atau Whatsapp waktu itu. Maklum, obrolan orang sibuk, hehe.”
“Ah apapun, Mas. Makasih banyak ya
Mas, haha hihi kita kadang jadi banyak belajar, heee.”
“Aku yang banyak belajar menerima
rencana-Nya darimu, belajar menjadi selapang-lapangnya semesta karena hujan
selalu jatuh pada tempat terbaiknya.” Semoga
kamu hujan dan aku semesta-Nya.
Hujan reda. Kami melenggang di antara genangan air selepas hujan, ia menuju kampus impiannya dan aku menuju kantor impianku. Selain impian, semoga pertemuan kami juga menjadi rencana-Nya.
-------------------------------------
Oleh : Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #3| Tentang Rencana-Nya
Sumber Gambar: Pexels.com by Content Pixie