Impian. Menurut Mutia Prawitasari
dalam novel Teman Imaji: impian itu didekati bukan dikejar, sebab ia tak akan
lari, ia hanya menggantung sampai diaraih, digapai, atau diwujudkan. Impian itu
bahasa lainnya rejeki, kalau rejeki dicari maka impian didekati. Impian pun
sama dengan rejeki, sudah ada simpulnya tapi dirahasiakan. Seperti kelahiran,
jodoh, dan kematian, tujuannya supaya kita berusaha.
Impian tidak menuntut ruang dan
waktu, ia hanya diam menggantung sejak kita merapalkannya. Diam menunggu kita
mengupayakan mewujudkanya. Sebab impian tanpa upaya itu mimpi, tetap menjadi
mimpi jika tidak diwujudkan. Bila perlu impian menjelma menjadi raga kedua yang
siap membuat siapa saja kembali bangkit dari jatuhnya—kembali berusaha
mendekatinya—impian.
Menurut Soekarno pada kalimatnya
yang diabadikan di rak buku Perpustakaan Kementrian Keuangan RI: Bermimpilah
setinggi langit, bila engkau jatuh maka jatuh di antara bintang-bintang.
Bila mana gagal dalam meraih
impian, setidaknya kita sudah berusaha mencoba melompat bahkan terbang
sekalipun. Bukankah gagal setelah mencoba itu lebih berharga, daripada gagal
sebab tak pernah mencoba? Berharganya kegagalan adalah ketika kita banyak
belajar darinya, lebih melapangkan keikhlasan untuk menerima, dan tidak
berhenti berusaha.
Menurut Kurniawan Gunadi pada
kumpulan prosa Hujan Matahari: Impian itu mestinya di antara bintang-bintang.
Sebab ia tidak akan peduli siang malam, tidak akan peduli hujan badai,
bintang-bintang tetap berada di atas awan. (Dalam
prosa:Impian).
Maka sebenarnya impian tetaplah
impian, meski perjuangan yang menantang mungkin hingga berujung gagal dan putus
asa. Ia tetap menjadi impian sebagaimana mestinya—menggantung di langit
menunggu diwujudkan. Tidak peduli sekeras apa perjuangan, selama apapun
diperjuangkan, impian tidak akan pernah redup kecuali kita sendiri yang
meredupkannya.
Terlalu banyak orang yang merasa
kalah oleh keadaan, memutuskan menghentikan langkah menuju impian, bahkan
menikam impiannya sendiri, menjauhkannya dari segala peredaran harapan. Padahal
sebenarnya impian tidak peduli dengan keadaan. Cemooh, cibiran, ketidakyakinan
orang lain itu adalah penguat diri supaya impian itu cukup dibuktikan pada diri
sendiri bahwa kita melebihi apa yang kita pikirkan, tidak kalah dengan keadaan
apalagi dengan pikiran orang lain.
Ehmm.. atau jangan-jangan pikiran
orang lain itu sebenarnya adalah dukungan yang mengajak kita bercanda dan
mempermainkan tekad? Ah, anggap saja itu kreativitas dukungan orang lain. Toh,
impian tetap tidak peduli itu.
Pepatah lama mengatakan, “raihlah
mimpi di langit tapi jangan lupa rumput di bumi”. Seperti analogi dari tokoh
Banyu kepada Kica (novel: Teman Imaji by Mutia Prawitasari), berikut:
“Manusia tangannya dua, yang satu untuk mencapai cita-cita di langit,
yang satu untuk berpegangan di bumi.” Kata Banyu kepada Kica.
“Kenapa kayak gitu?” Kica penasaran, menuntut penjelasan.
“Supaya walaupun sudah terbang tinggi, kaki kita tetap menapak tanah.
Supaya tetap membumi dan rendah hati.”
“Terus?”
“Kalau jatuh ada yang megangin.”
“Bukannya kalau kita pakai kedua tangan sekaligus, lebih gampang
sampai meraih mimpinya?”
“Iya, tapi kalau jatuh lebih susah bangunnya. Tidak ada yang bisa jadi
pegangan.”
“Terus kita mestinya pegangan sama apa dong, Mas?”
“Sama agama, keluarga, dan
sahabat sebab impian tidak akan ada artinya tanpa izin-Nya, tidak ada artinya
tanpa orang-orang yang berarti.”
--
Untuk yang sedang mendekati
(memperjuangkan) impian—impian itu mahal, bahkan matematika manusia kadang tidak
cukup untuk menebusnya. Tapi ingat, Allah Maha Kaya. Semoga kita senantiasa
paham kemana impian itu bermuara, kemana kita memilih jalan untuk meraihnya. Kadang
kita berpikir impian yang kita pilih belum tentu impian yang Allah pilihkan
untuk kita raih, maka selalu libatkan Allah pada setiap impian—jangan ragu.
Bahkan hanya karena
alasan aku punya Allah, maka aku tetap berani bermimpi—Ori Rabowo, pada buku It’s Talking about Life, Lady and Love.
Tulisan ini dalam rangka menyemangati
diri yang sedang menempuh perjuangan mendekati impian, mengingatkan diri akan
pelajaran-pelajaran dari buku-buku yang pernah dibaca.
Banjarnegara, 20 September 2016
Tulisan: Mendekati Impian Bagian 1