Tiga tahun
mengandalkan bus untuk berangkat dan pulang sekolah adalah pelajaran berharga
yang tidak bisa didapat dari sekolah manapun, dan hanya cukup beguru pada guru
yang paling baik—menurut pribahasa ialah pengalaman.
Ketika yang lain masih bersantai di depan televisi menyimak berita
pagi, asyik merapikan diri di depan kaca, dan mungkin ada yang masih lelap
dalam tidurnya. Tapi aku sudah bersiap menunggu bus di pinggir jalan—tepat di
depan rumahku. Begitu bus mulai terlihat di ujung jalan, aku siap menyambut
banyak cerita di sana.
Aku bukan busmania yang akrab
dengan awak bus dan hafal dengan nama belakangnya. Berbekal rutinitas, tidak
jarang justru awak buslah yang hafal denganku. Misalnya, aku tidak perlu bilang
aku akan turun di daerah mana, sebab mereka sudah hafal dan otomatis berhenti
ketika aku bersiap turun. Lama-lama aku juga paham dengan istilah-istilah
mereka untuk menyebutkan sejumlah kendala dalam perjalanan.
Jika aku bersiap pukul 05.50 di pinggir jalan, maka aku akan naik bus Cebong warna silver, nama lainnya Cebong Hollywood. Nama Hollywood didapat dari tulisan di kaca
belakang bus, tujuannya untuk membedakan dengan bus cebong silver yang lain. Jika naik bus ini aku akan bertemu
wanita-wanita super dari dataran tinggi Parakan—penjual bawang keliling. Ada
juga tiga ibu penjual sayur yang tidak kalah supernya. Bayangkan saja mereka
pasti meninggalkan rumah sebelum Subuh datang, para penjual bawang keliling itu
harus menggendong dagangannya yang bobotnya lebih dari 30 Kg, belum lagi
kendala dari udara dingin penggunungan. Sedangkan ibu-ibu penjual sayur sudah
harus menjajakan dagangannya sebelum langganannya berangkat ke kantor. Jam
berapa kira-kira mereka pergi ke pasar? Meninggalkan keluarga di pagi buta,
lalu bergeliling kampung menggendong sayuran dengan keranjang besar-besar.
Tidak hanya penjaja dagangan saja yang mendapat predikat wanita super
versiku. Ada juga beberapa wanita karier yang disiplin dan penyayang keluarga.
Ada seorang ibu separuh baya rumahnya di Mendolo, Wonosobo. Beliau guru di
sebuah SMA di Karangkobar. “Setengah enam saya sudah di bus, Mbak”, tutur
beliau ketika aku tanyakan jam berapa dari rumah. Ternyata beliau tidak sempat
menengok jam kalau mau berangkat, karena terburu-buru takut anak bungsunya
bangun dan rewel jika melihat ibunya pergi.
Ada juga ibu muda yang membangunkan anaknya via telepon. Lucunya ibu itu membangunkan si buah hati dengan
menyanyikan lagunya Ippo Santosa—Sang
Pemenang. “Denisa, bangun sayang hari ini ada permainan seru di sekolah,
bunda kasih semangat ya?”, lembut sekali si ibu bertutur dengan anaknya di
seberang telepon.
“Aku terlahir tuk jadi pemenang tak akan terpikir tuk jadi pecundang,
hanya satu yang ku kenang saat sorak sorai riuh berkumandang, ole..ole..
ole..ole..”, dengan suara yang dilirahkan sama sekali tidak mengurangi semangat
si ibu saat menyanyikan lagu itu. Lagu yang belum pernah ku dengar sebelumnya.
Saking penasarannya, sampai sekolah aku langsung googling dan mendownload lagu
itu, dan menjadikannya nada alarmku.
Tidak kalah dengan ibu muda, ibu yang satu ini mendiktekan lauk dan
warna tempat bekal untuk anak-anak dan suaminya via telepon. Padahal
anak-anaknya sudah besar, paling kecil saja kelas IX SMP, paling besar sudah
bekerja di sebuah bank, suaminya dua tahun lagi pensiun. Tapi perhatian yang
luar biasa tetap ia curahkan untuk keluarga tercinta.
“Sudah selesai mandi mas? Ini Mama udah di bus. Bekal kamu yang ijo,
kalau mienya kurang pedas sausnya di dapur sebelah kompor. Bilang mbakmu
apelnya sudah mama siapkan di dalam tas bekalnya. Ingatkan adek tempat bekal
yang kemarin suruh dibawa pulang, hari ini dia pakai yang kuning, sendoknya
sudah di dalam. Bilang papa juga bekalnya sudah siap di dalam tas. Kamu yang
hati-hati ya naik motornya, ini mendung kalau gerimis bilang papa suruh bawa
mobil saja jadi kalian berangkat bersama,” jelas panjang lebar ibu itu, entah
cerewet atau memang over protective,
dan sepertinya si anak juga tidak kebagian jatah bicara. Aku jadi membayangkan
kalau anak itu bandel dan membiarkan telepon tergeletak dan sang ibu bicara
panjang lebar tapi tak dihiraukannya, sementara ia sibuk mengoleskan gel di
rambut sambil bergaya di depan kaca. Aduh! Kasia itu ibu.
Aku yang duduk di sebelanya sampai berkerut kening. Seperti menyadari
keherananku, si ibu akhirnya banyak bercerita tentang keluarganya. Salut juga
aku sama beliau, karena kedisiplinan dan tanggung jawabnya sebagai pegawai dan
sebagai ibu rumah tangga.
Pengalaman seperti itu hampir setiap pagi aku temui. Sebuah santapan
pagi yang lebih berharga dibanding setangkup roti bakar isi coklat keju
kesukaanku yang rela aku tinggal karena takut ketinggalan bus pagi itu.
Aku sering sengaja turun di SMK yang letaknya di sebelah timur SMA-ku,
sebab aku merasa senan berjalan di pinggiran irigasi yang lewat depat
sekolahku. Kadang aku mampir di pedagang sayur yang sedang merapikan
dagangannya di sepeda otel yang terparkir di gerbang timur sekolah. Biasanya
aku membeli tahu bulat atau jajanan pasar padanya, kadang si ibu memberiku
bonus kue cenil atau kerupuk padaku sebagai pembeli pertama.
---
Suatu ketika ada kejadian yang tidak pernah aku sangka. Selama naik bis
aku kerap ngobrol dengan penumpang lain, berkenalan, berbagi tempat duduk, dan
bahkan bebagi bekal. Kebanyakan mereka
adalah orang tua, jujur asyik ngobrol dengan orang tua ketimbang anak muda yang
kadang angkuh dan sinis. Yang tidak ku sangka adalah satu dari sekian banyak
orang itu datang ke sekolahku dan memberiku sebuah hadiah.
Saat itu ada kegiatan Maulid Nabi di aula sekolah, kebetulan bertepatan
dengan kegiatan bhakti sosial, dan aku mendapat giliran meliput bhaksos.
Kegiatan di laksanakan di sebuah sekolah di kecamatan Wanayasa. Di sana minim
sekali sinyal, setelah aku menaiki sebuah bukit kecil baru ada beberapa psan
masuk. Isinya cukup membingungkanku dan beberapa teman yang ikut membacanya.
“Naaa selamat ya? Luar biasa,”
“Lanjutkan Na!,”
“Wah senengnya dapat hadiah di Ustadzah,”
“Ciyeee yang lagi jadi trending
topic”
Aduh! Bingung aku, lebih bingung lagi karena tidak ada sinyal untuk
mengirim pesan dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tambah bingung lagi,
ketika masuk sekolah banyak kakak kelas yang memastikan namaku sama seperti
nama yang dicari ustadzah pengisi pengajian Maulud Nabi tempo hari. Ada juga
yang agak sembrono menarik jilbabku yang menutupi dada, untuk melihat nama
dibagian kanan baju seragamku. Aku merasa aneh, seperti banyak yang
memperhatikanku, ketika lewat di depan adik kelas tak sedikiryang berbisik-bisik
dan melihat ke arahku. Keadaan juga semakin membuatku bingung ketika aku masuk
ruang guru, beberapa guru memberiku selamat dan mengucapkan terima kasih.
“Na, selamat ya? Terima kasih juga lho,” Kata Bu Fat, sembari menarik
lenganku.
“Bu sebenarnya apa yang terjadi, saya bingung Bu. Teman-teman tidak mau
bercerita, kata mereka Bu Fat yang lebih tahu,” tanyaku penasaran.
“Kamu kenal Ustadzah Maratus Shalikhah?”, aku menggeleng. “Kamu berbagi
tempat duduk dengannya sewaktu di bus, saat itu beliau naik di daerah SKB
bersama anak kecil, itu kira-kira minggu lalu,” jelas Bu Fat. Aku hanya diam
sambil berusaha mengingat.
“Aa Bu, saya ingat tapi kami tidak berkenalan, bahkan saya juga tidak
ingat wajah beliau seperti apa,” kataku masih kebingungan.
“Tapi dia tahu nama lengkapmu,”
“Ah tidak mungkin Bu, kami sama sekali tidak bicara nama, jilbab saya
juga menutupi nama di baju, seingat saya beliau berkata akan berkunjung kemari
dalam waktu dekat. Itu pun setelah beliau membaja badge sekolah di lengan baju”.
Aku masih kebingungan dengan kejadian itu yang sampai membuatku menjadi
trending topic di kalangan guru dan
siswa. Hadiah sudah aku terima, sebuah jam tangan cantik berwarna putih. Meski
tidak sempat bertemu dengan beliau, aku berharap suatu saat bisa dipertemukan
lagi dengan beliau.
Menurutku kejadian anak sekolah berbagi bangku dengan orang yang lebih
tua, apalagi membawa anak kecil adalah hal yang lumrah. Tapi ada saja orang
yang memberi apresiasi lebih karena hal itu. Kejadian demi kejadian, perkenalan
demi perkenalan, obrolan demi obrolan di bus adalah pembelajaran bagiku.
Apalagi ketika mengamati mereka, para wanita super yang mengabdi pada pekerjaan
dan rumah tangga mereka. Membantu ekonomi suami, dan tidak melupakan tugas
sebagai istri dan ibu.
Aku belum bisa membayangkan jika enam atau tujuh tahun lagi aku berada
di posisi mereka. Wanita super dengan tenaga super, otak super untuk melahirkan
ide-ide super yang menyiasati peran ganda mereka. Subhanallah mulianya wanita, apalagi wanita shalihah yang bisa
menjadi penuntun ke surga bagi suaminya.
Setiap pulang sekolah begitu turun dari bus,
aku langsung berpikir hal apa lagi yang akan aku temui hari esok, siapa lagi
yang akan mendapat predikat wanita super versiku, orang seperti apa yang besok akan
ngobrol berbagai hal denganku, ah tidak sabar naik bus lagi.
_dra_