Sejauh apa pun kaki melangkah,
berpetualang, dan menjelajah bumi-Nya. Sepanjang dan selama apa pun jalan yang
ditempuh, pada akhirnya rumah adalah tempat pulang dari segala perjalanan.
Bukan sekadar tempat berlindung
dari teriknya matahari atau derasnya hujan. Tapi, tempat menemukan sederhannya
bahagia yang paling membahagiakan—apa pun keadaannya kini. Jujurlah—merindukan
rumah adalah hal paling menyesakkan. Boleh jadi merindukannya adalah hal yang
dibenci, mungkin sebab kenangannya atau rindu memang tidak akan membawa langkah
untuk pulang. Tapi rumah tetaplah rumah,
tidak peduli dibenci atau disayang ia tetap tempat pulang.
Rumah. Setiap orang bisa
mendefinisikan apa pun tentangnya. Kenangan dan perjuangan ada di
dinding-dinding dan langit-langitnya. Layaknya tempat pulang, rumah mampu jadi
penglipur segala yang kita dapat di luar sana. Ada rahasia yang tetap menjadi
rahasia yang kita bagi pada dindingnya. Ada mimpi yang kita gantung di
langit-langitnya.
Rumah tetaplah rumah. Meski segalanya semakin menua—anak-anak beranjak
dewasa, bapak ibu semakin senja. Anak-anak mulai pergi jauh, membangun rumahnya
sendiri. Bapak ibu selalu menanti anak-anak pulang ke rumah. Meski anak-anak
punya rumahnya sendiri, tapi bukankah rumah tetaplah rumah? Ia tetap menjadi
tempat pulang. Tidak peduli sebanyak apa harta yang telah terkumpul di luar
sana, tidak peduli setinggi apa ilmu yang telah didapat diluar sana, pun tidak
peduli jika ada kehinaan di luar sana—rumah tetaplah tempatmu pulang, rumah selalu menunggumu pulang.
Banjarnegara, 13 Juli 2016
Ratna Asih