Sering
sekali kamu bercerita tentang perjalanan yang pernah kamu lakukan, sesekali kamu
bercerita tentang perjalanan yang ingin kamu lakukan. Rupanya kita sama-sama
menganggap perjalanan sebagai pelarian—pelarian
dari sandiwara kehidupan, begitu ujarmu.
Aku
bilang perjalanan itu seperti pencarian, tapi kamu bilang perjalanan itu
penemuan.
“Apa
yang kamu temukan?” Tanyaku, tak paham.
“Diri
sendiri,” ujarmu lugu.
Kamu
banyak bercerita tentang perjalanan yang jauh, orang-orang yang kamu temui, dan
tempat-tempat asing yang kamu kunjungi. Kamu bercerita kadang dengan sangat
bahagia, penuh kelegaan, dan ungkapan syukur yang diulang-ulang. Tapi tidak
jarang, kamu bercerita dengan penuh kepasrahan, bahkan sendiku terasa ngilu
ketika membayangkan apa yang kamu rasakan.
Suatu
ketika kamu bercerita, kamu bertemu orang-orang baik di perjalanan. Mereka
selalu mentraktirmu makan, membelikanmu barang yang urung kamu beli karena
dolarmu tak cukup, dan menyelipkan belasan lembar rupiah berwarna merah ketika
mengucapkan sampai jumpa lagi di pintu kedatangan bandara.
Lain
waktu kamu bercerita, kakimu terkilir akibat terburu-buru menuruni anak tangga
untuk menemui mereka yang tidak mau menunggumu sekadar dua menit, kamu juga
sering melewatkan waktu makanmu untuk mengurus mereka yang banyak mau, belum
lagi rasa lelah menghadapi kesinisan dan kesombongan orang-orang yang kamu
temui.
“Nggak
papa, orang-orang itu hijau, kuning, kelabu.” Ujarmu dengan nada lagu, sembari
terkekeh kecil, ketika kutanyai bagaimana perasaanmu kala itu.
Aku
pernah bertanya padamu, mengapa kamu terus melakukan perjalanan. Jawabanmu
membuatku tak bisa berkomentar selain, “lanjutkan! Semoga selamat sampai tujuan
ya.”
Katamu,
“karena perjalanan tidak hanya mendekatkan pada impian, tapi juga pada pemilik
setiap pemimpi. Aku merasa impianku semakin dekat, ketika melakukan perjalanan
seperti itu. Anggap saja, impianku adalah tujuan, dan perjalanan ini adalah
jalanku untuk sampai pada tujuan.”
Bagaimana
tidak kamu berpikir demikian, impianmu adalah menjadi sarjana, untuk menjadi
sarjana kamu butuh biaya, kamu mencari biaya dari perjalanan satu ke perjalanan
lain, jadilah kamu menganggap perjalanan mendekatkanmu pada impian. Mungkin aku
terlalu pragmatis, namun
aku yakin ada alasan-alasan lain yang membuatmu tetap melakukan perjalanan,
meski melelahkan, meski kadang mengecewakan—tidak selalu seperti yang kamu
harapkan.
“Aku
banyak belajar di perjalanan, aku memahami banyak hal di sana, termasuk
memahami diriku yang paling apa adanya pun di sana, sebut saja pengalaman.”
Ujarmu, ketika kutanya apa yang kamu dapat dari perjalanan.
“Kapan
kamu berpikir untuk berhenti melakukan perjalanan seperti ini? Jika kamu sudah
terlalu lelah, kumohon berhentilah.” Tanyaku, ketika menemaninya menukar mata
uang sehari sebelum ia berangkat lagi.
“Pernah
berpikir, tapi kapan untuk berhenti aku tak tahu. Bukankah kamu yang bilang,
jalan terbaik pasti untukku?”
“Apa
aku pernah bilang seperti itu?”
“Iya,
aku memahatnya di mana-mana, aku mengingatnya di mana-mana, pun ketika tersesat
mencari jalan, hehe.”
“Ah
baiklah terima kasih sudah mengingat, ingat juga ya boleh tenggelam dalam
pekerjaan tapi jangan hanyut, nanti susah kembali.”
“Tenang,
aku nggak naik kapal jadi nggak akan tenggelam, paling kalau pesawatnya jatuh
kelautan baru tenggelam.”
Seperti
petir menyambar, dadaku memberontak. “Kelana!”, tapi ia tak mendengarnya.
***
“Pamit.”
Satu kata, lewat pesan whatsapp, seperti biasa.
“Kirim
nomor penerbangan.” Balasku.
“XX-8501
nggak usah di tunggu.”
“Memastikan.”
“Memastikan
benar-benar pulang?”
“Pasti
pulang.”
“Setiap
yang pergi pasti pulang, seperti yang hidup pasti mati.”
“Jangan
jorok ngomongnya!” Pesan terakhir tak berbalas.
Malam
ini, aku menunggunya di depan pintu kedatangan, dengan membawakannya Mi Ayam Katsu
favoritnya dari resto bandara. Sebenarnya sudah lama ia bercerita—ingin sekali
ada yang menyambutnya di sini ketika ia pulang. Aku selalu sibuk, tak pernah
sempat. Tapi malam ini aku berdiri di sini, bahkan hingga dua jam setelah
jadwal ketibaan penerbangannya. Seperti tahun lalu, bedanya tahun ini aku lebih
tegar—lebih bisa menerima bahwa setiap yang pergi pasti pulang, meski hanya
nama, karena yang hidup pasti mati.
_____________________
Pesawat dengan rute penerbangan Surabaya-Singapura, lepas
landas dari Bandar Udara Internasional Juanda pada 28 Desember 2014, pukul 05.35
WIB dan dijadwalkan mendarat pada pukul 08.30 waktu Singapura. Namun, pada 07.24
WIB menara pengawas lalu lintas udara Indonesia kehilangan kontak saat terbang
di atas selat Karimata, Laut Jawa. Pesawat tersebut membawa 155 penumpang dan 7
orang kru. Masa pencarian korban dihentikan tepat sebelas hari setelah
kecelakaan tersebut terjadi, 162 orang dinyatakan tewas. Pada tanggal 1
Desember 2015, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya
mengumumkan hasil investigasi yang menyatakan bahwa bagian
rudder-travel-limiter pada bagian ekor pesawat mengalami kerusakan dan kemudian
ditanggapi oleh pilot dengan kesalahan yang fatal. Miskomunikasi antar pilot
dan kopilot yang berlanjut akhirnya menyebabkan pesawat terjatuh. Tragedi ini
merupakan tragedi penerbangan terburuk kedua dalam sejarah penerbangan di
Indonesia dan merupakan kecelakaan pesawat terburuk ketiga di dunia pada tahun
2014. (id.wikipedia.org)
_____________________
Baca juga Perjalanan Pertama
Kumpulan Cerpen : Keba(l)ikan
Ratna Asih | Januari 2018
Sumber Gambar: Pexels.com by Negative Space