Hal paling konyol yang pernah
kulakukan adalah duduk di halte bus. Bukan, bukan untuk menunggu bus—tapi
menunggu kebetulan—kebetulan bertemu teman lama, kebetulan hujan, kebetulan
ditumpangi mobil bos yang sedang melintas, atau apa pun itu. Sebenarnya yang
lebih konyol lagi, aku merindukan apa pun yang disebut kebetulan. Untuk apa?
Kadang kita butuh sesuatu yang tidak kita duga datang, supaya kita lebih sadar
apa yang kita rencanakan tidak akan selalu datang seperti yang kita duga.
Sialnya, ketika sengaja
duduk-duduk tanpa tujuan di halte bus, tak ada satu pun yang kutemui dengan
kebetulan. Hahahaha, aku terlalu bodoh untuk berpikir bahwa tidak ada kebetulan
yang bisa kita rencanakan.
Aku jadi ingat sesuatu, seseorang
pernah berkata padaku, “tidak ada kebetulan, sebab kebetulan serupa hujan yang
turun pada tempat dan waktu yang tidak kita duga tapi Tuhan telah
menyiapkannya.” Aiih, kenapa tiba-tiba
jadi mengingatnya, gerutuku dalam hati. Pada akhirnya, aku melenggang
meninggalkan halte dengan pilu menertawakan diri sendiri.
Maklum libur kantor akan terlalu
membosankan jika dihabiskan di dalam apartemen, akan terlalu naif untuk
digunakan mencicil pekerjaan minggu depan, dan akan terlalu pemborosan untuk
hangout mingguan. Jadilah, duduk-duduk di halte bus tanpa teman atau orang
dikenal cukup menyenangkan.
Seseorang juga pernah mengatakan
padaku, bahwa kadang kita butuh waktu sendiri untuk menikmati diri sendiri yang
paling apa adanya, diri sendiri yang hanya bernegosiasi dengan Tuhannya—tanpa
perlu ada terpaksa, tanpa bernegosiasi dengan orang lain untuk melakukan apa
pun yang kita inginkan. “Kalau sendiri, mau jalan kemana pun, mau tersesat
sampai bingung kayak apapun, mau kepeleset sampai malunya kaya apapun, pada
akhirnya kita hanya mampu berlindung pada Tuhan bukan ke teman.” Begitu
katanya.
Jadi, di sinilah hari ini aku
berada— Setelah menunaikan Dzuhur, duduk hikmat di dalam coffee shop, sembari menekuni lembar demi lembar buku yang baru
kubeli dari toko sebelah. Anggap saja demi mengisi waktu yang lebih berfaedah
dari pada duduk di halte melewatkan tujuh bus, menunggu hujan turun sampai reda
kembali, menyapa orang yang tidak dikenal, berbasa-basi dan kembali ke
apartemen untuk tidur menghabiskan hari.
Hujan begitu deras mengguyur
ibukota, membuatku mengurungkan niat untuk beranjak dari sofa yang sudah
menghangat. Seorang pelayan menghampiri
mejaku untuk menarik cangkir espresso yang sudah kutuntaskan isinya.
“Mbak sekalian diganti hot
chocolate dan tambah sendwich cheese with chicken mushrom ya,” ujarku.
“Baik Kak, tunggu sebentar ya,
nomor pesanan segera saya antar.”
Sejak hujan turun semakin deras,
coffee shop ini semakin penuh, beberapa pelayan menghampiri meja yang masih
terdapat kursi kosong, dan meminta izin kepada pelanggan yang menempati meja
untuk ditempati pelanggan lain. Kulirik kursi kosong di depanku. “Kalau kurisi ini ditempati orang lain,
izinkan nggak ya? Kan lagi pengen sendiri, masa ada orang lain,” pikirku.
“Permisi Kak, ini nomor
pesanannya, silakan di ambil ke depan dua antrean lagi,”
“Oh ya, apa kursi ini kosong?”
“Ehm, ya.”
“Boleh ditempati satu pelanggan
kami yang lain?”
“Memangnya tidak ada kursi kosong
yang lain, mbak?”
“Maaf belum saya carikan, karna
ini yang terdekat dan pelanggan kami ini bawa banyak barang,”
Kuamanti setumpuk buku tebal
didekapannya, mungkin ia membantu membawakan.
“Oh ya, silakan.”
“Terima kasih,” ujarnya sembari
meletakkan empat buku tebal dalam kantong plastik bening dan sebuah notebook
merah maroon.
Aku terbelalak mengamati notebook
entah milik siapa ini di depanku. Mirip milik seseorang yang mengatakan tentang
kebetulan dan kesendirian. Aku bangkit dari duduk, mengamati sekeliling,
hingga nomor pesananku dipanggil dan melangkah ke kasir.
“Mas Segara,” seseorang
di sebelahku menyapa.
“Hujan,” dadaku meronta lebih
dari sebelumnya.
“Kok kamu di sini?”
“Hahaha, kaget ya Mas?”
“Bukan gitu, tapi... eh meja
nomor berapa?”
“Tujuh,”
“Mejaku itu, yuk!” Aduhai, apa ini namanya kalau bukan
kebetulan?
Setelah keluar dari antrean
kasir, kami melangkah menuju meja, benar kan, notebook merah maroon itu
miliknya. Iya, dia yang mengatakan padaku tentang analogi hujan, kebetulan, dan
kesendirian. Tiga tahun tanpa temu, kini ia di depanku bercerita banyak hal
yang ia temui selama ini.
“Masih nggak nyangka aja nih kita
ketemu di sini, biasanya aku nggak pernah kesini, kebetulan banget kan?” ujarku.
“Haha, Mas nggak ada yang
kebetulan.”.
“Tidak ada kebetulan, sebab
kebetulan serupa hujan yang turun pada tempat dan waktu yang tidak kita duga
tapi Tuhan telah menyiapkannya.” Ujar kami bersamaan.
“Mas Segara masih ingat?” tanyanya
lirih.
Ingatlah, ingat banget. “Kamu pernah tulis itu di notebookku,
sampai sekarang masih dipakai jadi hampir tiap hari kebaca.” Bohong.
“Haha, padahal nggak sengaja nulisnya.”
“Nggak sengaja itu kebetulan
bukan?”
“Iya, tapi kebetulan itu nggak
ada.”
Kalau hujan serupa kebetulan
seperti yang kau katakan, berarti kamu adalah kebetulan yang selalu kutunggu
dan Tuhan memang menyiapkannya untukku, Hujan. “Berarti nggak sengaja itu nggak
ada.”
Ia nampak berpikir, kemudian
mengangguk dan tersenyum sumringah.
“Mas Segara, aku Hujan, aku adalah kebetulan yang udah disiapkan-Nya untuk ketemu
Mas Segara di sini. Yakin, kita mau terusan ngomongin kebetulan?”
Deg, aku pikir juga gitu.
“Hahaha, jadi sekarang kamu mau
aku cerita tentang apa, Hujan?”
“Apa pun, Mas selain kebetulan.”
Maka hari ini aku lebih yakin
bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini, kita hanya fakir-fakir kejutan yang
menanti takdir tak terduga sampai pada kita. Aku sudah lama menanti hujan di
halte bus, tapi hujan kutemukan di coffee shop yang tak pernah kusinggahi. Apa
pun, bukankah hujan serupa kebetulan?
-----------------
Story by Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #5| Serupa Kebetulan
Sumber Gambar: pexels.com by Peter Fazekas