Serupa Kebetulan

Juni 14, 2017


Hal paling konyol yang pernah kulakukan adalah duduk di halte bus. Bukan, bukan untuk menunggu bus—tapi menunggu kebetulan—kebetulan bertemu teman lama, kebetulan hujan, kebetulan ditumpangi mobil bos yang sedang melintas, atau apa pun itu. Sebenarnya yang lebih konyol lagi, aku merindukan apa pun yang disebut kebetulan. Untuk apa? Kadang kita butuh sesuatu yang tidak kita duga datang, supaya kita lebih sadar apa yang kita rencanakan tidak akan selalu datang seperti yang kita duga.

Sialnya, ketika sengaja duduk-duduk tanpa tujuan di halte bus, tak ada satu pun yang kutemui dengan kebetulan. Hahahaha, aku terlalu bodoh untuk berpikir bahwa tidak ada kebetulan yang bisa kita rencanakan. 

Aku jadi ingat sesuatu, seseorang pernah berkata padaku, “tidak ada kebetulan, sebab kebetulan serupa hujan yang turun pada tempat dan waktu yang tidak kita duga tapi Tuhan telah menyiapkannya.” Aiih, kenapa tiba-tiba jadi mengingatnya, gerutuku dalam hati. Pada akhirnya, aku melenggang meninggalkan halte dengan pilu menertawakan diri sendiri.

Maklum libur kantor akan terlalu membosankan jika dihabiskan di dalam apartemen, akan terlalu naif untuk digunakan mencicil pekerjaan minggu depan, dan akan terlalu pemborosan untuk hangout mingguan. Jadilah, duduk-duduk di halte bus tanpa teman atau orang dikenal cukup menyenangkan.

Seseorang juga pernah mengatakan padaku, bahwa kadang kita butuh waktu sendiri untuk menikmati diri sendiri yang paling apa adanya, diri sendiri yang hanya bernegosiasi dengan Tuhannya—tanpa perlu ada terpaksa, tanpa bernegosiasi dengan orang lain untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. “Kalau sendiri, mau jalan kemana pun, mau tersesat sampai bingung kayak apapun, mau kepeleset sampai malunya kaya apapun, pada akhirnya kita hanya mampu berlindung pada Tuhan bukan ke teman.” Begitu katanya.

Jadi, di sinilah hari ini aku berada— Setelah menunaikan Dzuhur, duduk hikmat di dalam coffee shop, sembari menekuni lembar demi lembar buku yang baru kubeli dari toko sebelah. Anggap saja demi mengisi waktu yang lebih berfaedah dari pada duduk di halte melewatkan tujuh bus, menunggu hujan turun sampai reda kembali, menyapa orang yang tidak dikenal, berbasa-basi dan kembali ke apartemen untuk tidur menghabiskan hari.

Hujan begitu deras mengguyur ibukota, membuatku mengurungkan niat untuk beranjak dari sofa yang sudah menghangat.  Seorang pelayan menghampiri mejaku untuk menarik cangkir espresso yang sudah kutuntaskan isinya. 

“Mbak sekalian diganti hot chocolate dan tambah sendwich cheese with chicken mushrom ya,” ujarku.

“Baik Kak, tunggu sebentar ya, nomor pesanan segera saya antar.”

Sejak hujan turun semakin deras, coffee shop ini semakin penuh, beberapa pelayan menghampiri meja yang masih terdapat kursi kosong, dan meminta izin kepada pelanggan yang menempati meja untuk ditempati pelanggan lain. Kulirik kursi kosong di depanku. “Kalau kurisi ini ditempati orang lain, izinkan nggak ya? Kan lagi pengen sendiri, masa ada orang lain,” pikirku.

“Permisi Kak, ini nomor pesanannya, silakan di ambil ke depan dua antrean lagi,”

“Oh ya, apa kursi ini kosong?”

“Ehm, ya.”

“Boleh ditempati satu pelanggan kami yang lain?”

“Memangnya tidak ada kursi kosong yang lain, mbak?”

“Maaf belum saya carikan, karna ini yang terdekat dan pelanggan kami ini bawa banyak barang,”
Kuamanti setumpuk buku tebal didekapannya, mungkin ia membantu membawakan.

“Oh ya, silakan.”

“Terima kasih,” ujarnya sembari meletakkan empat buku tebal dalam kantong plastik bening dan sebuah notebook merah maroon.

Aku terbelalak mengamati notebook entah milik siapa ini di depanku. Mirip milik seseorang yang mengatakan tentang kebetulan dan kesendirian. Aku bangkit dari duduk, mengamati sekeliling, hingga nomor pesananku dipanggil dan melangkah ke kasir.

“Mas Segara,” seseorang di sebelahku menyapa.

“Hujan,” dadaku meronta lebih dari sebelumnya.

“Kok kamu di sini?”

“Hahaha, kaget ya Mas?”

“Bukan gitu, tapi... eh meja nomor berapa?”

“Tujuh,”

“Mejaku itu, yuk!” Aduhai, apa ini namanya kalau bukan kebetulan?

Setelah keluar dari antrean kasir, kami melangkah menuju meja, benar kan, notebook merah maroon itu miliknya. Iya, dia yang mengatakan padaku tentang analogi hujan, kebetulan, dan kesendirian. Tiga tahun tanpa temu, kini ia di depanku bercerita banyak hal yang ia temui selama ini.

“Masih nggak nyangka aja nih kita ketemu di sini, biasanya aku nggak pernah kesini, kebetulan banget kan?” ujarku.

“Haha, Mas nggak ada yang kebetulan.”.

“Tidak ada kebetulan, sebab kebetulan serupa hujan yang turun pada tempat dan waktu yang tidak kita duga tapi Tuhan telah menyiapkannya.” Ujar kami bersamaan.

“Mas Segara masih ingat?” tanyanya lirih.

Ingatlah, ingat banget. “Kamu pernah tulis itu di notebookku, sampai sekarang masih dipakai jadi hampir tiap hari kebaca.” Bohong.

“Haha, padahal nggak sengaja nulisnya.”

“Nggak sengaja itu kebetulan bukan?”

“Iya, tapi kebetulan itu nggak ada.”

Kalau hujan serupa kebetulan seperti yang kau katakan, berarti kamu adalah kebetulan yang selalu kutunggu dan Tuhan memang menyiapkannya untukku, Hujan. “Berarti nggak sengaja itu nggak ada.”

Ia nampak berpikir, kemudian mengangguk dan tersenyum sumringah.

“Mas Segara, aku Hujan, aku adalah  kebetulan yang udah disiapkan-Nya untuk ketemu Mas Segara di sini. Yakin, kita mau terusan ngomongin kebetulan?”

Deg, aku pikir juga gitu.
“Hahaha, jadi sekarang kamu mau aku cerita tentang apa, Hujan?”

“Apa pun, Mas selain kebetulan.”

Maka hari ini aku lebih yakin bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini, kita hanya fakir-fakir kejutan yang menanti takdir tak terduga sampai pada kita. Aku sudah lama menanti hujan di halte bus, tapi hujan kutemukan di coffee shop yang tak pernah kusinggahi. Apa pun, bukankah hujan serupa kebetulan?


-----------------
Story by Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #5| Serupa Kebetulan
Sumber Gambar: pexels.com by Peter Fazekas


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images