Sang Penasihat

Mei 16, 2017


Aku pernah menggantungkan impian untuk bisa mendiami kota ini, belajar dengan giat, menggantungkan impian-impian lainnya di bawah langit kota ini. Setidaknya itu sebelum aku merasa tak ada jalan lain untuk menuju impian itu, setidaknya aku pernah memperjuangkannya dan terus berjuang meski yang aku perjuangkan adalah impian-impian yang lain.

“Kalah setelah mencoba adalah pemenang yang tertunda, kalah tanpa mencoba adalah pecundang. Lebih baik kamu gagal setelah mencoba, daripada gagal karena tidak mencoba.” Suaranya terdengar hati-hati di antara isak yang susah payah aku tahan, pun di antara deras hujan tengah hari yang memilukan.

“Kadang kita perlu belajar dari hujan.” Ujarnya lagi, setelah beberapa menit ia memilih diam, tak lagi menghujaniku dengan nasihat-nasihat. Aku masih diam, isak dari tangis sebab kegagalan masih belum bisa kuredam. Kutengok ke arahnya yang duduk berjarak tiga kotak lantai di sebelah kananku. Matanya menerawang ke depan, menatap lekat telitikan hujan dua meter di depan kami.

“Kamu tahu kenapa?” tanyanya, kali ini ia menengok ke arahku. Aku buru-buru membuang pandangan, menyelipkannya di antara hujan, ketika mata kami bertemu. Aku hanya menggeleng, masih tak sanggup bicara.

“Takdir hujan adalah jatuh, ia tidak bisa meminta di mana ia dijatuhkan—ia tidak bisa meminta di mana takdirnya. Dijatuhkan di mana saja, di tempat yang sama sekali pun, berkali-kali, hujan tetap menerima, sebab ia tahu dengan jatuh ia bisa bermanfaat. Tuhan tahu, di mana tempat yang paling membutuhkan manfaat hujan, maka Tuhan jatuhkan hujan di mana pun, kapan pun, sebanyak apa pun—hujan tidak pernah menylahkan takdirnya.”

“Aku nggak ngerti,” ujarku ketika ia mengambil jeda untuk menarik napas panjang.

“Mau ngerti?” Senyumnya mengembang, kekhawatiran yang sedari tadi mengusiknya sejak aku mulai terisak, nampak memudar. Aku mengangguk, berusaha tersenyum.

“Kita perlu belajar penerimaan dari hujan, di mana pun kita dijatuhkan berkali-kali pun, tugas kita adalah menerima dan terus berusaha menjadi manfaat. Kadang kita terlalu sibuk mencari manfaat dan lupa untuk menjadi manfaat.” Tukasnya, dadaku bergetar lebih dari sebelumnya. Kami diam, kembali menerawang di antara rintik hujan yang mulai reda.

“Aku jadi paham, setiap kegagalan berarti kita sedang dijatuhkan pada tempat yang tidak kita inginkan, tapi sebenarnya Tuhan akan membuat kita bermanfaat di tempat di mana kita dijatuhkan, karena mungkin kita terlalu ambisi mengejar sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, tapi lupa untuk menjadi bermanfaat untuk sesuatu yang lain.” Ujarku.

“Plissss, udah nggak usah galau, malu sama hujan deh,” ia terkekeh.

“Hmmm, kamu yang bikin aku malu sama hujan!”

“Lho kok aku? Apa salahku?”

“Buanyaaaak!”

“Nggak bisa gitu dong!”

“Pertama, karena kamu udah jadi penasihat paling ampuh di antara deru debu dan deras hujan. Kedua, karena kamu canggih banget main analogi hujannya. Ketiga, karena kamu selalu berhasil memaksaku sependapat sama analogi-analogimu itu. Keempat, karena kamu pakai nanya apa salahmu, dan aku nggak bisa jawab karena kamu emang nggak salah apa-apa. Hahaha.” Aku terkekeh, merasa menang. Sementara ia hanya tersenyum geli menahan tawanya.

“Omong-omong, kamu yang salah. Bukan yang aku pe-na-si-hat, tapi hu-ja-n.”

“Hmm, kok bisa?”

“Sebab, hujan itu penasihat.” Ujarnya setengah berbisik. Aku mengangguk paham.

“Omong-omong aku ingin seperti hujan,” ujarku, di antara tawa kecilnya. Tiba-tiba ia diam.

“Kalau kamu hujan, aku ingin menjadi lautan-Nya,” tukasnya. Aku tak bergeming, ada yang berdesir di dalam dadaku. Aku paham maksudnya, hanya saja aku tak tahu harus bagaimana.

Yogyakarta, Mei 2017
Auditorium kampus besar, sesak oleh wisudawan dan wisudawati. Tepat empat tahun target kelulusan bisa kuwujudkan, bukan di kampus impian, tapi kebahagiaannya lebih dari yang menjadi impianku. 

Seorang perempuan paruh baya mengandeng lengan laki-laki yang nampak lebih tua tiga tahun darinya, mereka tengah berbincang dengan seorang pemuda yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru langit, lengkap dengan dasi, dipadukan dengan celana bahan panjang berwarna abu-abu gelap. Nampak terlalu formal ditambah sepatu hitam mengkilapnya.

Aku memutuskan untuk mendekati mereka yang sedang bergeser mencari tempat berteduh, sebab rintik gerimis kecil mulai membumi.

“Ibu, ayah.” Sapaku. Seketika itu si pemuda menoleh.

“Hey....”

Dia, pemuda yang empat tahun lalu menyampaiakan nasihat hujan padaku. Hari ini, dia datang pada hari yang susah payah aku perjuangkan. Hari di mana ia harus meninggalkan meeting kantornya, dan mengambil penerbangan paling pagi menuju kota impian yang dulu aku rapalkan di depannya.

“Kamu masih ingin seperti hujan?” tanyanya, ketika kami sedang bersiap foto bersama.

“Kalau masih, aku sudah bilang dengan ibu dan ayahmu, kalau aku ingin menjadi lautan. Supaya di mana pun hujan jatuh, aku tetep menjadi muaranya. Gimana menurutmu?”

-----------------
Story by Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #4| Sang Penasihat
Sumber Gambar: pexels.com by Adriana Calvo

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images