Aku pernah menggantungkan impian
untuk bisa mendiami kota ini, belajar dengan giat, menggantungkan impian-impian
lainnya di bawah langit kota ini. Setidaknya itu sebelum aku merasa tak ada
jalan lain untuk menuju impian itu, setidaknya aku pernah memperjuangkannya dan
terus berjuang meski yang aku perjuangkan adalah impian-impian yang lain.
“Kalah setelah mencoba adalah
pemenang yang tertunda, kalah tanpa mencoba adalah pecundang. Lebih baik kamu
gagal setelah mencoba, daripada gagal karena tidak mencoba.” Suaranya terdengar
hati-hati di antara isak yang susah payah aku tahan, pun di antara deras hujan
tengah hari yang memilukan.
“Kadang kita perlu belajar dari
hujan.” Ujarnya lagi, setelah beberapa menit ia memilih diam, tak lagi
menghujaniku dengan nasihat-nasihat. Aku masih diam, isak dari tangis sebab
kegagalan masih belum bisa kuredam. Kutengok ke arahnya yang duduk berjarak
tiga kotak lantai di sebelah kananku. Matanya menerawang ke depan, menatap
lekat telitikan hujan dua meter di depan kami.
“Kamu tahu kenapa?” tanyanya,
kali ini ia menengok ke arahku. Aku buru-buru membuang pandangan,
menyelipkannya di antara hujan, ketika mata kami bertemu. Aku hanya menggeleng,
masih tak sanggup bicara.
“Takdir hujan adalah jatuh, ia
tidak bisa meminta di mana ia dijatuhkan—ia tidak bisa meminta di mana
takdirnya. Dijatuhkan di mana saja, di tempat yang sama sekali pun,
berkali-kali, hujan tetap menerima, sebab ia tahu dengan jatuh ia bisa
bermanfaat. Tuhan tahu, di mana tempat yang paling membutuhkan manfaat hujan, maka
Tuhan jatuhkan hujan di mana pun, kapan pun, sebanyak apa pun—hujan tidak
pernah menylahkan takdirnya.”
“Aku nggak ngerti,” ujarku ketika
ia mengambil jeda untuk menarik napas panjang.
“Mau ngerti?” Senyumnya
mengembang, kekhawatiran yang sedari tadi mengusiknya sejak aku mulai terisak,
nampak memudar. Aku mengangguk, berusaha tersenyum.
“Kita perlu belajar penerimaan
dari hujan, di mana pun kita dijatuhkan berkali-kali pun, tugas kita adalah menerima
dan terus berusaha menjadi manfaat. Kadang kita terlalu sibuk mencari manfaat
dan lupa untuk menjadi manfaat.” Tukasnya, dadaku bergetar lebih dari
sebelumnya. Kami diam, kembali menerawang di antara rintik hujan yang mulai
reda.
“Aku jadi paham, setiap kegagalan
berarti kita sedang dijatuhkan pada tempat yang tidak kita inginkan, tapi
sebenarnya Tuhan akan membuat kita bermanfaat di tempat di mana kita
dijatuhkan, karena mungkin kita terlalu ambisi mengejar sesuatu yang bermanfaat
untuk diri sendiri, tapi lupa untuk menjadi bermanfaat untuk sesuatu yang lain.”
Ujarku.
“Plissss, udah nggak usah galau,
malu sama hujan deh,” ia terkekeh.
“Hmmm, kamu yang bikin aku malu
sama hujan!”
“Lho kok aku? Apa salahku?”
“Buanyaaaak!”
“Nggak bisa gitu dong!”
“Pertama, karena kamu udah jadi
penasihat paling ampuh di antara deru debu dan deras hujan. Kedua, karena kamu
canggih banget main analogi hujannya. Ketiga, karena kamu selalu berhasil
memaksaku sependapat sama analogi-analogimu itu. Keempat, karena kamu pakai
nanya apa salahmu, dan aku nggak bisa jawab karena kamu emang nggak salah
apa-apa. Hahaha.” Aku terkekeh, merasa menang. Sementara ia hanya tersenyum
geli menahan tawanya.
“Omong-omong, kamu yang salah.
Bukan yang aku pe-na-si-hat, tapi hu-ja-n.”
“Hmm, kok bisa?”
“Sebab, hujan itu penasihat.” Ujarnya
setengah berbisik. Aku mengangguk paham.
“Omong-omong aku ingin seperti
hujan,” ujarku, di antara tawa kecilnya. Tiba-tiba ia diam.
“Kalau kamu hujan, aku ingin
menjadi lautan-Nya,” tukasnya. Aku tak bergeming, ada yang berdesir di dalam
dadaku. Aku paham maksudnya, hanya saja aku tak tahu harus bagaimana.
Yogyakarta, Mei 2017
Auditorium kampus besar, sesak
oleh wisudawan dan wisudawati. Tepat empat tahun target kelulusan bisa
kuwujudkan, bukan di kampus impian, tapi kebahagiaannya lebih dari yang menjadi
impianku.
Seorang perempuan paruh baya
mengandeng lengan laki-laki yang nampak lebih tua tiga tahun darinya, mereka
tengah berbincang dengan seorang pemuda yang mengenakan kemeja lengan panjang
berwarna biru langit, lengkap dengan dasi, dipadukan dengan celana bahan
panjang berwarna abu-abu gelap. Nampak terlalu formal ditambah sepatu hitam
mengkilapnya.
Aku memutuskan untuk mendekati
mereka yang sedang bergeser mencari tempat berteduh, sebab rintik gerimis kecil
mulai membumi.
“Ibu, ayah.” Sapaku. Seketika itu
si pemuda menoleh.
“Hey....”
Dia, pemuda yang empat tahun lalu
menyampaiakan nasihat hujan padaku. Hari ini, dia datang pada hari yang susah
payah aku perjuangkan. Hari di mana ia harus meninggalkan meeting kantornya,
dan mengambil penerbangan paling pagi menuju kota impian yang dulu aku rapalkan
di depannya.
“Kamu masih ingin seperti hujan?”
tanyanya, ketika kami sedang bersiap foto bersama.
“Kalau masih, aku sudah bilang
dengan ibu dan ayahmu, kalau aku ingin menjadi lautan. Supaya di mana pun hujan
jatuh, aku tetep menjadi muaranya. Gimana menurutmu?”
-----------------
Story by Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #4| Sang Penasihat
Sumber Gambar: pexels.com by Adriana Calvo