Satu
tahun bolak-balik melakoni pekerjaan yang orang bilang asyik itu, kadang memang
menjadi alasan untuk lebih bersyukur. Belajar dari sebentuk perjalanan adalah
pengalaman luar biasa yang mungkin sebenarnya bisa saya bagikan ke orang
lain—tapi setelah sekian perjalanan dilakoni, rupanya baru ini yang bisa saya
bagikan: biasanya sekadar catatan perjalanan pribadi di blog tersembunyi hehe J
Februari
2015, awal perjalanan tanpa rencana panjang—hanya karena mendapat info tiket
pesawat promo. Beruntunglah, keisengan membuat paspor pada zaman SMA (2014),
akhirnya bisa dimanfaatkan. Setelah kurang lebih tiga minggu memantau harga
tiket pesawat PP, akhirnya bisa mengantongi best
deal seharga Rp 753.400 dengan rute Yogyakarta – Kuala Lumpur – Jakarta.
Ini
adalah perjalanan serba perdana—perdana naik pesawat, perdana ke luar negeri,
perdana jalan bareng kolega, dan perdana jadi pelancong. Bisa dibayangkan:
betapa semalaman tidak bisa tidur, dan sedikit rempong saat packing. Tapi,
sudahlah itu setahun yang lalu dan tanpa disangka, kini minimal dua bulan
sekali harus menjelajahkan kaki di negeri seberang.
Berawal
dari keisengan melancong itulah setidaknya saya belajar bagaimana agar bisa
kembali berkunjung. Konon katanya, ketika berkunjung ke suatu negara kita harus
menyisihkan sejumlah mata uang agar bisa kembali lagi berkunjung. Percayalah
itu mitos! Meski setiap perjalanan saya selalu menyisihkan uang, dan Insya
Allah selalu bisa datang lagi (tuntutan pekerjaan).
Pada
pertengahan 2015, saya diberi kesempatan lagi untuk melakoni perjalanan kedua.
Kali ini bukan dilatarbelakangi iseng dan tiket promo, ini adalah masa uji coba
profesi pelancong atau bahasa kerennya tour leader, tapi agak geli juga kalau
dibilang guide (apalah daku, yang tidak lihai cas ciscus bahasa inggris).
Kesempatan pertama ini terlalu petcah,
dan terlalu naif jika saya harus menolak kesempatan selanjutnya. Bayangkan
saja, ini adalah pengalaman luar biasa ketika kita travelling dengan para traveller
dari berbagai penjuru Indonesia yang belum kita kenal sebelumnya. Hanya dalam
waktu satu jam sebelum pesawat lepas landas, setidaknya saya baru mengetahui
nama dari masing-masing partner perjalanan.
Lebih
asyiknya lagi, travellers terdiri
dari berbagai profesi dengan logat bahasa yang super petcah seperti ketika orang Solo berebut bangku dengan orang
Jeneponto. Ketika orang Jawa, Sunda, Papua, dan Riau, mereka saling menyapa
hangat di pagi hari dan saling bertukar roti untuk sarapan. Atau paling
berkesan ketika traveller muslim
sedang ibadah di mushola mall, yang non muslim menjaga barang-barang mereka dan
setia menunggui tanpa berkeluh. Percayalah hal-hal itu yang membuat saya
belajar banyak dari setiap perjalanan.
Terlepas
dari kemegahan Twin Tower, Batu Cave dan bangunan di Dataran Merdeka yang
selalu menjadi destinasi pokok, saya selalu ingin kembali ke negeri ini. Bukan,
bukan berarti saya tidak cinta Indonesia, tapi dengan perjalanan itulah
setidaknya bisa menambah pengalaman, relasi dan banyak hal yang mungkin bisa
dimengerti ketika kita benar-benar melakoninya, read: susah diungkapkan dengan kata-kata.
Dan
ketika datang kesempatan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya, dengan senang
hati saya tidak bisa menolak. Adakah yang mau menolak kesempatan travelling gratis, dan bertemu banyak
relasi? Sejauh ini jika saya menolak dengan alasan kesehatan saja. Selebihnya
alhamdulillah dijalani dengan suka cita, meski pegal dan kadang panik berlebih
ketika menghadapi sedikit kendala mengenai penerbangan, atau traveller yang tiba-tiba hilang dari
rombongan.
Well,
karena hidup adalah tentang belajar dan mengajari, rasanya tidak akan berarti
jika cerita perjalanan itu tidak dibagikan. Insya Allah, setelah ini akan
banyak posting mengenai perjalanan, pengalaman, tips dan sejenisnya.