Cerah nian langit siang ini.
Walau tak bisa dipungkiri kadang hitungan menit saja mampu merenggut langit
biru, dan menggantinya dengan kelabu. Atau siang yang begitu terik dan
tiba-tiba mendung datang bersama hujan badai dan petir yang menyambar-nyambar—entah
musim macam apa ini.
Hujan dan kemarau seperti telah
melanggar janjinya pada pengamat musim. Datang sebelum waktunya, tiba-tiba
berganti, sesekali datang, berganti dan sulit diperkirakan kapan datangnya
lagi. Ah, musim seperti perasaan saja ya? Datang dan pergi semaunya. Hanya saja
perasaan tak mudah berganti, ia hanya pergi mencari jalan yang ujungnya akan
kembali pada hati yang sama. Kalau pun tak kembali, percayalah cinta-Nya tak
pernah salah memilih jalan.
Seperti musim, perasaan juga
berlatar waktu. Ia tak pernah terlambat—hanya saja, kadang kita yang
terburu-buru.
Aku tak pernah menghitung berapa
kali hujan membanjiri rindu, berapa kali kemarau menguapkan haru. Sebab,
perasaanku masih tentangmu dan entah akan seberapa lama—mungkin lebih sebentar
dari esok atau lebih lama dari selamanya. Mungkin juga ini ironi yang penuh
pilu, ketika musim selalu berkisah tentangmu dan hati yang lain. Dan aku
terlalu meyakini, takdir cinta-Nya tak pernah salah memilih jalan.
Seperti musim yang pernah
kutemui—hujan dan kemarau. Perasaan terlalu indah berlatarkannya. Sementara
harapanku padamu juga demikian, damailah seperti gerimis, jadilah kehangatan
ketika hujan datang, teduhlah ketika siang begitu terik dan jadilah penyejuk di
tengah kegersangan. Selama masih menapak di bumi yang sama dan masih bernaung
di bawah langit yang sama, aku tak perlu berharap seperti musim salju yang
kadang membekukan perasaan atau pun musim semi yang nggugurkan harapan. Rasaku
terlalu indah berlatar hujan, kemarau. dan bersama takdir cinta-Nya.
Banjarnegara, 5 Mei 2015 14.45