“Oktober
akan semakin romantis dengan gerimis yang mengawali musim hujan kali ini,
sayangnya hujan datang sedikit terlambat dari janjinya kepada para pengamat
musim,” ungkapnya serius, sembari menatap langit senja yang begitu cerah.
Aku hanya
diam mengamati caranya memandang langit, juga memerhatikan setiap kalimat yang
ia ucapkan tentang hujan. Entah itu penjelasan hujan secara ilmiah atau dari
segi filosofis, aku akan setia menjadi pendengarnya tanpa jengah sedikit pun.
Dari dulu aku memang mengagumi caranya diam saat berpikir sesuatu. Ini adalah
satu dari sekian hal yang aku nantikan sejak tempo hari bertemu dengannya di
media sosial, hingga hari ini kami bertemu.
“Sejak kapan
kau belajar banyak hal tentang hujan? Bukankah dulu kau hanya tahu banyak hal
tentang gulali?” tanyaku menyela hening di antara sorot jingga yang menembus
jendela kaca kedai mi favoritku.
Ia
memalingkan pandangannya dari langit, menatapku lekat, diam, dan hanya tersenyum
kecil sebelum akhirnya kembali memandang langit.
“Aku lupa
sudah berapa puluh kali penjual gulali menawariku jajanan favorit dulu,
sebanyak itu pula aku menolaknya, mungkin aku terlalu sibuk belajar tentang
hujan, aku hanya ingin tahu mengapa kau bisa tertawa gembira ketika hujan turun
sementara aku hanya diam karena rasa cemasku terhadap hujan,” ungkapnya dengan
nada merendah, sesekali terdengar hembusan napasnya yang tenang.
“Rasa cemas
karena takut gulalimu basah, kan?”
“Hahahaha...”
kami tertawa bersama. Seakan tertawan geliat cerita nostalgia sepuluh tahun
silam dan ingatan seakan memutarkan barisan film yang melintasi alam sadar.
Tertawa, diam sejenak sembari mengingat-ingat, kemudian tertawa lagi.
“Sebenarnya
sejak saat itu, aku selalu menolak keindahan hujan,” ucapku tiba-tiba di antara
tawanya. Seketika itu juga ia diam, sembari mengernyitkan dahi.
“Mungkin aku
terlalu sibuk belajar tentang gulali, aku hanya ingin tahu mengapa kau lebih memilih
duduk di teras kelas bersama pak Acim dan gulalimu daripada bermain di antara rinai
hujan,” imbuhku.
Beberapa
detik kami hanya diam. Sejenak kembali mengingat remaja berseragam putih biru yang
tengah memainkan payungnya di bawah deras hujan. Tak jauh dari situ ada bocah
laki-laki tengah jongkok di dekat kompor gulali sembari mengamati lihainya pak
Acim, si pengerajin gulali membentuk adonan gula panas itu.
“Mengapa kau
mencari yang aku miliki? Sementara aku juga tengah mencari yang kau miliki?”
tanyanya memecah keheningan di antara memoar yang melintasi pikiranku. Detik
berganti menit. Pertanyaannya masih berputar di otakku, mencari jawaban lain
yang sebenarnya aku sudah tahu pasti jawabannya.
“Eh, ehem..
Sudahlah lupakan saja alasan kita dulu sama-sama mencari,” katanya seakan
mengerti isi pikiranku.
“Huuuh, apakah alasan cinta akan terdengar
sangat lucu dan tidak rasional lagi ketika kita sudah sama-sama dewasa seperti
ini?” batinku.
Sebenarnya
cinta adalah alasan paling rasional ketika pada porsi yang wajar. Cinta juga
menjadi alasan paling rasional ketika kita sama-sama rela menunggu dalam waktu
yang lama untuk dipertemukan kembali. Tapi cinta akan menjadi hal yang tidak
rasional lagi ketika semua telah matang dan kesempatan sudah di depan mata tapi
ia justru bersembunyi dan mengunci diri untuk memendam lebih lama lagi.
“Naysa,”
“Iya, Yug,”
sapanya membuatku keluar dari kecamuk batin yang mengusik benakku.
Ia
mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda dari tasnya, kemudian
menyodorkannya padaku.
“Aku punya
alasan untuk belajar tentang hujan, sementara sepuluh tahun nyaris menjadi
batas kewajaran untuk sekadar menunggu, dan sepertinya hidup ini tidak punya
toleransi lagi untukku mencari,” kalimatnya berhenti. Ia diam, sebelum akhirnya
kembali mendekatkan kotak itu ke tanganku.
“Sebab, yang
kucari selama ini adalah kau dan kau juga alasanku belajar tentang hujan,”
imbuhnya. Seketika itu, kutangkap desau angin senja di penghujung kemarau yang
begitu menyejukan. Bibirku bergetar, entah harus berucap apa. Rasanya hanya
ingin mengangguk.
“Gulali akan
tahan lama walau dibiarkan diamati dalam waktu yang tidak sebentar, dan gulali
bisa saja basi, maka aku juga tidak mau lebih lama lagi untuk mencari tentang
banyak hal dari gulali, jika yang kucari itu adalah kau, juga alasan aku jatuh
cinta pada gulali,” ungkapku penuh gugup dan haru.
Manisnya
gulali dan dinginnya hujan adalah hal biasa. Siapa tahu rahasia Tuhan dengan
hati ciptaan-Nya mampu mengubah gulali dan hujan menjadi sebuah kisah yang
terus terajut tanpa pertemuan dalam waktu yang lama.
“Lalu, apa
ini?” tanyaku sembari mengangkat kotak merah muda itu.
“Buka saja
saat hujan pertama musim ini,” jawabnya enteng.
“Dan
sekarang hujan, lihatlah di luar sana,” kataku kegirangan. Ia tampak panik,
tidak percaya.
“Lho kok
hujan? Padahal menurut artikel perkiraan cuaca, hujan akan mulai Oktober besok,
ya sudahlah silahkan kau buka saja,” akhirnya ia menyerah, sebab hujan turun
sebelum perkiraan para pengamat musim.
Rupanya hujan juga tidak mau menunggu
lebih lama gulali di kotak itu untuk segera meluncur ke mulutku. Senja dengan semburat
jingga, kini tertutup mendung. Diramaikan oleh hujan, dan dipermanis oleh
gulali yang menambah euphoria kisah sejoli tentang gulali dan hujan.
-dra-
Tantangan pertama #JamaahTyphobia//"Gulali"//#KampusFiksi