Tentang Gulali dan Hujan

November 19, 2014



           “Oktober akan semakin romantis dengan gerimis yang mengawali musim hujan kali ini, sayangnya hujan datang sedikit terlambat dari janjinya kepada para pengamat musim,” ungkapnya serius, sembari menatap langit senja yang begitu cerah.
            Aku hanya diam mengamati caranya memandang langit, juga memerhatikan setiap kalimat yang ia ucapkan tentang hujan. Entah itu penjelasan hujan secara ilmiah atau dari segi filosofis, aku akan setia menjadi pendengarnya tanpa jengah sedikit pun. Dari dulu aku memang mengagumi caranya diam saat berpikir sesuatu. Ini adalah satu dari sekian hal yang aku nantikan sejak tempo hari bertemu dengannya di media sosial, hingga hari ini kami bertemu.
          “Sejak kapan kau belajar banyak hal tentang hujan? Bukankah dulu kau hanya tahu banyak hal tentang gulali?” tanyaku menyela hening di antara sorot jingga yang menembus jendela kaca kedai mi favoritku.
            Ia memalingkan pandangannya dari langit, menatapku lekat, diam, dan hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya kembali memandang langit.
            “Aku lupa sudah berapa puluh kali penjual gulali menawariku jajanan favorit dulu, sebanyak itu pula aku menolaknya, mungkin aku terlalu sibuk belajar tentang hujan, aku hanya ingin tahu mengapa kau bisa tertawa gembira ketika hujan turun sementara aku hanya diam karena rasa cemasku terhadap hujan,” ungkapnya dengan nada merendah, sesekali terdengar hembusan napasnya yang tenang.
            “Rasa cemas karena takut gulalimu basah, kan?”
            “Hahahaha...” kami tertawa bersama. Seakan tertawan geliat cerita nostalgia sepuluh tahun silam dan ingatan seakan memutarkan barisan film yang melintasi alam sadar. Tertawa, diam sejenak sembari mengingat-ingat, kemudian tertawa lagi.
           “Sebenarnya sejak saat itu, aku selalu menolak keindahan hujan,” ucapku tiba-tiba di antara tawanya. Seketika itu juga ia diam, sembari mengernyitkan dahi.
        “Mungkin aku terlalu sibuk belajar tentang gulali, aku hanya ingin tahu mengapa kau lebih memilih duduk di teras kelas bersama pak Acim dan gulalimu daripada bermain di antara rinai hujan,” imbuhku.
        Beberapa detik kami hanya diam. Sejenak kembali mengingat remaja berseragam putih biru yang tengah memainkan payungnya di bawah deras hujan. Tak jauh dari situ ada bocah laki-laki tengah jongkok di dekat kompor gulali sembari mengamati lihainya pak Acim, si pengerajin gulali membentuk adonan gula panas itu.
        “Mengapa kau mencari yang aku miliki? Sementara aku juga tengah mencari yang kau miliki?” tanyanya memecah keheningan di antara memoar yang melintasi pikiranku. Detik berganti menit. Pertanyaannya masih berputar di otakku, mencari jawaban lain yang sebenarnya aku sudah tahu pasti jawabannya.
      “Eh, ehem.. Sudahlah lupakan saja alasan kita dulu sama-sama mencari,” katanya seakan mengerti isi pikiranku.
      Huuuh, apakah alasan cinta akan terdengar sangat lucu dan tidak rasional lagi ketika kita sudah sama-sama dewasa seperti ini?” batinku.
        Sebenarnya cinta adalah alasan paling rasional ketika pada porsi yang wajar. Cinta juga menjadi alasan paling rasional ketika kita sama-sama rela menunggu dalam waktu yang lama untuk dipertemukan kembali. Tapi cinta akan menjadi hal yang tidak rasional lagi ketika semua telah matang dan kesempatan sudah di depan mata tapi ia justru bersembunyi dan mengunci diri untuk memendam lebih lama lagi.
       “Naysa,”
       “Iya, Yug,” sapanya membuatku keluar dari kecamuk batin yang mengusik benakku.
        Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda dari tasnya, kemudian menyodorkannya padaku.
      “Aku punya alasan untuk belajar tentang hujan, sementara sepuluh tahun nyaris menjadi batas kewajaran untuk sekadar menunggu, dan sepertinya hidup ini tidak punya toleransi lagi untukku mencari,” kalimatnya berhenti. Ia diam, sebelum akhirnya kembali mendekatkan kotak itu ke tanganku.
    “Sebab, yang kucari selama ini adalah kau dan kau juga alasanku belajar tentang hujan,” imbuhnya. Seketika itu, kutangkap desau angin senja di penghujung kemarau yang begitu menyejukan. Bibirku bergetar, entah harus berucap apa. Rasanya hanya ingin mengangguk.
     “Gulali akan tahan lama walau dibiarkan diamati dalam waktu yang tidak sebentar, dan gulali bisa saja basi, maka aku juga tidak mau lebih lama lagi untuk mencari tentang banyak hal dari gulali, jika yang kucari itu adalah kau, juga alasan aku jatuh cinta pada gulali,” ungkapku penuh gugup dan haru.
        Manisnya gulali dan dinginnya hujan adalah hal biasa. Siapa tahu rahasia Tuhan dengan hati ciptaan-Nya mampu mengubah gulali dan hujan menjadi sebuah kisah yang terus terajut tanpa pertemuan dalam waktu yang lama.
       “Lalu, apa ini?” tanyaku sembari mengangkat kotak merah muda itu.
       “Buka saja saat hujan pertama musim ini,” jawabnya enteng.
       “Dan sekarang hujan, lihatlah di luar sana,” kataku kegirangan. Ia tampak panik, tidak percaya.
      “Lho kok hujan? Padahal menurut artikel perkiraan cuaca, hujan akan mulai Oktober besok, ya sudahlah silahkan kau buka saja,” akhirnya ia menyerah, sebab hujan turun sebelum perkiraan para pengamat musim.
         Rupanya hujan juga tidak mau menunggu lebih lama gulali di kotak itu untuk segera meluncur ke mulutku. Senja dengan semburat jingga, kini tertutup mendung. Diramaikan oleh hujan, dan dipermanis oleh gulali yang menambah euphoria kisah sejoli tentang gulali dan hujan.

-dra-

Tantangan pertama #JamaahTyphobia//"Gulali"//#KampusFiksi

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images