“Hidup akan berhenti ketika kita
berhenti bermimpi”, sebuah quote yang saya temukan beberapa jam yang lalu di
timeline twitter. Memang begitu adanya yang saya alami, tapi untungnya saya
tidak pernah untuk berhenti bermimpi. Orang bermimpi hampir seperti orang jatuh
cinta. Ketika seseorangjatuh cinta, ia akan berjuang mengejar cintanya, rela
berkorban, dan rela berubah baik secara fisik maupun pribadinya. Demikian pula
orang yang bermimpi. Mimpi dan perjuangan adalah dua sejoli yang tidak bisa
dipisahkan. Sementara keistiqomahan bisa diibaratkan sebagai rasa cinta dan
setia pada mimpi tersebut.
Tidak ada yang besar jika yang kecil
pun tidak ada, begitulah mimpi. Tidak ada mimpi yang besar ketika kita tidak
memipikan hal-hal kecil. Karena mimpi yang besar adalah ketika ribuan
mimpi-mimpi kecil bisa terwujud.
Lima tahun berjibaku dengan dunia jurnalistik
membuat saya akrab dengan bermimpi. Dua tahun menjadi jurnalis binaan di SMP.
Dan Tiga tahun saya harus mengerahkan tenaga dan pikiran saya untuk
melaksanakan proker jurnalistik sekolah di SMA. Mimpi-mimpi kecil saya adalah
ketika saya bisa membuat mading yang ramai pengunjung, membuat mading yang
kontroversi, dipanggil saat upacara bendera untuk menyerahkan piala atas nama
jurnalistik, sukses proker majalah di akhir masa kerja. Subhanaallah, tiga tahun saya perjuangkan itu semua dan bisa
terwujud.
Jalan menuju perwujudan mimpi
tidaklah semulus yang kita harapkan, ketika ujian menerpa itulah saat dimana
kesungguhan sedang dinilai pantas tidaknya mimpi itu bisa kita dapatkan. Awak redaksi
yang awalnya berjumlah delapan puluh dua orang semakin hari semaki berkurang,
hingga akhir masa kerja saya hanya ditemani sepuluh orang awak redaksi. Saya tidak
punya sekretaris, bendahara, redaktur pelaksana, dan editor bahasa. Teman-teman
menempati posisi di layout grafis, tim kreatif, reporter dan fotografer. Dengan
minimnya tenaga, saya harus merangkap menjadi administrasi untuk mengisi
kekosongan kepengurusan. Belum lagi orang tua yang kadang resah ketika saya
harus pulang sore, harus berangkat sekolah ketika libur, dan ketika rangking
dan nilai rapor saya terjun bebas.
Mungkin saya akan bedosa ketika saya
bangga saya sudah melakukan itu semua, termasuk bangga ketika saya tidak peduli
dengan nilai sekolah karena saya mendapatkan pelajaran yang luar biasa bagi
saya lebih dari sekedar nilai hitam di atas putih. Yaitu tentang tanggung
jawab, kerja keras, disiplin dan kerja keras.
Di akhir masa kerja, saya sempat
bingung. Ketika proker majalah terbit dan selesai dibagikan. Saya kira hidup
saya setelah itu akan datar tanpa mimpi-mimpi kecil yang harus diperjuangkan. Beberapa
hari sebelum majalah masuk percetakan, saya memiliki ide untuk bemimpi menulis
buku dan menerbitkannya sebelum saya lulus SMA. Ide yang tidak saya pikirkan
bagaimana caranya menuju target tersebut.
Skenario Allah yang sungguh luar
biasa indahnya. Selesai menerbitkan majalah saya diminta datang ke kantor
percetakan yang kebetulan milik alumni yang profilnya saya muat di majalah.
Amazing, saya ditawari menulis buku motivasi. Tanpa berpikir panjang, saya
kegirangan sambil mengiyakan tawaran tersebut. Seakan tenggelam dalam euforia
tersebut saya belum sadar kalau buku yang akan saya garap adalah buku motivasi
entrepreneur. Begitu sadar saya sedikit tercekat, dan bingung sendiri apa itu
entrepreneur. Dan Allah memberi segala sesuatu yang hamba-Nya butuhkan, saya
dipertemukan dengan teman-teman yang luar biasa dalam tim kepenulisan tersebut.
Libur semester V saya habiskan untuk
menulis buku motivasi entrepreneur, sebuah teori perwujudan mimpi yang sedikit
asing bagi saya. Tapi mentor, inspirator sekaligus fasilitator tim penulis
terus mengupas habis tentang materi-materi buku. Ketika yang lain asik liburan,
saya dan teman-teman harus menulis-menulis dan menulis. Saat liburan habis dan
masuk semester VI, saya dan tim penulis memutuskan untuk terjun action di dunia
bisnis sambil sekolah untuk membuktikan teori yang sudah kami tulis dalam buku
tersebut. Bisnis yang kami pilih adalah jualan jajanan dari kelas ke kelas.
Setiap hari saya berangkat dengan
membawa lontong dan gorengan buatan ibu, untuk dijual di sekolah. Sepulang sekolah,
kami mampir ke pasar untuk belanja barang dagangan hingga nyaris Magrib, kami
baru sampai di rumah. Begitulah kegiatan saya dan teman-teman sementara buku
sedang masuk proses editing oleh penerbit.
Keuntungan jualan yang lebih dari
lumayan kami tabung untuk mewujudkan target gila yang kami cetuskan sebelum
mulai menggarap buku. Yaitu menginjakan kaki di Singapore. Perjuangan itu tidak
berjalan mulus, ketika salah satu penulis tidak satu visi dan misi lagi, dan
memutuskan untuk keluar dari tim. Naskah tulisannya pun harus dicabut, yang
membuat proses editing jadi amburadul dan ISBN yang harus diganti lagi. Hingga
pada akhirnya saya dan keempat teman saya terus mengukir asa dalam perjuangan.
Dua minggu sebelum UN, kami pergi ke
kanto imigrasi untuk membuat paspor dengan hasil kerja keras kami selama tiga
bulan terakhir. Setelah proses satu minggu, akhirnya paspor sudah di tangan.
Antara percaya dan tidak percaya, perlahan mimpi-mimpi tersebut in sha Allah akan terwujud.
Proses penerbitan buku yang panjang,
akhirnya sebulan setelah pengumuman UN, buku perdana kami terbit 1000
eksemplar. Sungguh kembali saya terbang bersama euforia kebahagiaan karena
mimpi saya terwujud lagi, subhanaallah.
Tepat tanggal 5 Juli 2014 lalu, buku
perdana saya resmi dilaunchingkan di Saung Bu Mansur. Launching sekaligus buka
bersama yang dihadiri keluarga, teman-teman dan tamu undangan lainnya berjalan
lancar dan sukses. Ketika saya dan keempat teman saya bergantian menyampaikan sekilas
tentang buku, lagi-lagi saya nyaris tidak percaya dengan apa yang sedang
terjadi saat itu. Syukur tak henti-hentinya mengiringi nafas yang terus
menghembuskan kelegaan. Ketika berfoto
bersama keluarga, teman-teman, dan panitia acara di backdrop sponsor acara.
Puji syukur atas segala nikmat dan karunia Allah SWT.
Pujian dan sambutan hangat sampai
juga ke telinga saya ketika bertemu dengan para pembaca, tak sedikit yang
meminta tanda tangan di buku. Sungguh saya tahu, terkadang pujian bisa
menjatuhkan. Saya hanya penulis pemula yang belum banyak pengalaman, sementara
target dan mimpi-mimpi masih begitu banyak yang harus saya wujudkan. Saya
berusaha menganggap pujian itu sebagai peringatan bahwa kesempurnaan adalah
milik Allah dan pujian yang sebenarnya hanya miliknya. Waallahu a’lam.
Saya tidak akan berhenti di sini,
dengan mimpi itu. Jalan saya masih panjang. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus
saya wujudkan, masih banyak tempat-tempat yang harus saya kunjungi, masih
banyak orang-orang yang harus saya temui, masih banyak ilmu yang harus saya
pelajari, dan masih banyak hal yang membutuhkan kerja keras.
Tekad saya adalah kuliah dengan
beasiswa, membiayai hidup sendiri, dan akan terbit buku-buku kedua, ketiga dan
seterusnya.
“Terkadang perjuangan mimpi
mengenalkan kita pada kegagalan tapi kegagalan yang sebenarnya adalah ketika
kita tidak memperjuangkan mimpi yang kita miliki”_dra_
Lomba JOS (Journalist to School)
Tim Redaksi jurnalis XII Majalah Angkasa eds. V
Jualan jajanan dari kelas ke kelas
Launching buku "Cambukan Entrepreneur"
*) bedah buku
Panitia Launching