Cerita di Bus Berjuta Rasanya: Wanita-wanita Super

Agustus 05, 2014



Tiga tahun mengandalkan bus untuk berangkat dan pulang sekolah adalah pelajaran berharga yang tidak bisa didapat dari sekolah manapun, dan hanya cukup beguru pada guru yang paling baik—menurut pribahasa ialah pengalaman.

Ketika yang lain masih bersantai di depan televisi menyimak berita pagi, asyik merapikan diri di depan kaca, dan mungkin ada yang masih lelap dalam tidurnya. Tapi aku sudah bersiap menunggu bus di pinggir jalan—tepat di depan rumahku. Begitu bus mulai terlihat di ujung jalan, aku siap menyambut banyak cerita di sana.

Aku bukan busmania yang akrab dengan awak bus dan hafal dengan nama belakangnya. Berbekal rutinitas, tidak jarang justru awak buslah yang hafal denganku. Misalnya, aku tidak perlu bilang aku akan turun di daerah mana, sebab mereka sudah hafal dan otomatis berhenti ketika aku bersiap turun. Lama-lama aku juga paham dengan istilah-istilah mereka untuk menyebutkan sejumlah kendala dalam perjalanan.

Jika aku bersiap pukul 05.50 di pinggir jalan, maka aku akan naik bus Cebong warna silver, nama lainnya Cebong Hollywood. Nama Hollywood didapat dari tulisan di kaca belakang bus, tujuannya untuk membedakan dengan bus cebong silver yang lain. Jika naik bus ini aku akan bertemu wanita-wanita super dari dataran tinggi Parakan—penjual bawang keliling. Ada juga tiga ibu penjual sayur yang tidak kalah supernya. Bayangkan saja mereka pasti meninggalkan rumah sebelum Subuh datang, para penjual bawang keliling itu harus menggendong dagangannya yang bobotnya lebih dari 30 Kg, belum lagi kendala dari udara dingin penggunungan. Sedangkan ibu-ibu penjual sayur sudah harus menjajakan dagangannya sebelum langganannya berangkat ke kantor. Jam berapa kira-kira mereka pergi ke pasar? Meninggalkan keluarga di pagi buta, lalu bergeliling kampung menggendong sayuran dengan keranjang besar-besar.

Tidak hanya penjaja dagangan saja yang mendapat predikat wanita super versiku. Ada juga beberapa wanita karier yang disiplin dan penyayang keluarga. Ada seorang ibu separuh baya rumahnya di Mendolo, Wonosobo. Beliau guru di sebuah SMA di Karangkobar. “Setengah enam saya sudah di bus, Mbak”, tutur beliau ketika aku tanyakan jam berapa dari rumah. Ternyata beliau tidak sempat menengok jam kalau mau berangkat, karena terburu-buru takut anak bungsunya bangun dan rewel jika melihat ibunya pergi.

Ada juga ibu muda yang membangunkan anaknya via telepon. Lucunya ibu itu membangunkan si buah hati dengan menyanyikan lagunya Ippo Santosa—Sang Pemenang. “Denisa, bangun sayang hari ini ada permainan seru di sekolah, bunda kasih semangat ya?”, lembut sekali si ibu bertutur dengan anaknya di seberang telepon.

“Aku terlahir tuk jadi pemenang tak akan terpikir tuk jadi pecundang, hanya satu yang ku kenang saat sorak sorai riuh berkumandang, ole..ole.. ole..ole..”, dengan suara yang dilirahkan sama sekali tidak mengurangi semangat si ibu saat menyanyikan lagu itu. Lagu yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Saking penasarannya, sampai sekolah aku langsung googling dan mendownload lagu itu, dan menjadikannya nada alarmku.

Tidak kalah dengan ibu muda, ibu yang satu ini mendiktekan lauk dan warna tempat bekal untuk anak-anak dan suaminya via telepon. Padahal anak-anaknya sudah besar, paling kecil saja kelas IX SMP, paling besar sudah bekerja di sebuah bank, suaminya dua tahun lagi pensiun. Tapi perhatian yang luar biasa tetap ia curahkan untuk keluarga tercinta.

“Sudah selesai mandi mas? Ini Mama udah di bus. Bekal kamu yang ijo, kalau mienya kurang pedas sausnya di dapur sebelah kompor. Bilang mbakmu apelnya sudah mama siapkan di dalam tas bekalnya. Ingatkan adek tempat bekal yang kemarin suruh dibawa pulang, hari ini dia pakai yang kuning, sendoknya sudah di dalam. Bilang papa juga bekalnya sudah siap di dalam tas. Kamu yang hati-hati ya naik motornya, ini mendung kalau gerimis bilang papa suruh bawa mobil saja jadi kalian berangkat bersama,” jelas panjang lebar ibu itu, entah cerewet atau memang over protective, dan sepertinya si anak juga tidak kebagian jatah bicara. Aku jadi membayangkan kalau anak itu bandel dan membiarkan telepon tergeletak dan sang ibu bicara panjang lebar tapi tak dihiraukannya, sementara ia sibuk mengoleskan gel di rambut sambil bergaya di depan kaca. Aduh! Kasia itu ibu.

Aku yang duduk di sebelanya sampai berkerut kening. Seperti menyadari keherananku, si ibu akhirnya banyak bercerita tentang keluarganya. Salut juga aku sama beliau, karena kedisiplinan dan tanggung jawabnya sebagai pegawai dan sebagai ibu rumah tangga.

Pengalaman seperti itu hampir setiap pagi aku temui. Sebuah santapan pagi yang lebih berharga dibanding setangkup roti bakar isi coklat keju kesukaanku yang rela aku tinggal karena takut ketinggalan bus pagi itu.

Aku sering sengaja turun di SMK yang letaknya di sebelah timur SMA-ku, sebab aku merasa senan berjalan di pinggiran irigasi yang lewat depat sekolahku. Kadang aku mampir di pedagang sayur yang sedang merapikan dagangannya di sepeda otel yang terparkir di gerbang timur sekolah. Biasanya aku membeli tahu bulat atau jajanan pasar padanya, kadang si ibu memberiku bonus kue cenil atau kerupuk padaku sebagai pembeli pertama.

---

Suatu ketika ada kejadian yang tidak pernah aku sangka. Selama naik bis aku kerap ngobrol dengan penumpang lain, berkenalan, berbagi tempat duduk, dan bahkan  bebagi bekal. Kebanyakan mereka adalah orang tua, jujur asyik ngobrol dengan orang tua ketimbang anak muda yang kadang angkuh dan sinis. Yang tidak ku sangka adalah satu dari sekian banyak orang itu datang ke sekolahku dan memberiku sebuah hadiah.

Saat itu ada kegiatan Maulid Nabi di aula sekolah, kebetulan bertepatan dengan kegiatan bhakti sosial, dan aku mendapat giliran meliput bhaksos. Kegiatan di laksanakan di sebuah sekolah di kecamatan Wanayasa. Di sana minim sekali sinyal, setelah aku menaiki sebuah bukit kecil baru ada beberapa psan masuk. Isinya cukup membingungkanku dan beberapa teman yang ikut membacanya.

“Naaa selamat ya? Luar biasa,”

“Lanjutkan Na!,”

“Wah senengnya dapat hadiah di Ustadzah,”

“Ciyeee yang lagi jadi trending topic

Aduh! Bingung aku, lebih bingung lagi karena tidak ada sinyal untuk mengirim pesan dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tambah bingung lagi, ketika masuk sekolah banyak kakak kelas yang memastikan namaku sama seperti nama yang dicari ustadzah pengisi pengajian Maulud Nabi tempo hari. Ada juga yang agak sembrono menarik jilbabku yang menutupi dada, untuk melihat nama dibagian kanan baju seragamku. Aku merasa aneh, seperti banyak yang memperhatikanku, ketika lewat di depan adik kelas tak sedikiryang berbisik-bisik dan melihat ke arahku. Keadaan juga semakin membuatku bingung ketika aku masuk ruang guru, beberapa guru memberiku selamat dan mengucapkan terima kasih.

“Na, selamat ya? Terima kasih juga lho,” Kata Bu Fat, sembari menarik lenganku.

“Bu sebenarnya apa yang terjadi, saya bingung Bu. Teman-teman tidak mau bercerita, kata mereka Bu Fat yang lebih tahu,” tanyaku penasaran.

“Kamu kenal Ustadzah Maratus Shalikhah?”, aku menggeleng. “Kamu berbagi tempat duduk dengannya sewaktu di bus, saat itu beliau naik di daerah SKB bersama anak kecil, itu kira-kira minggu lalu,” jelas Bu Fat. Aku hanya diam sambil berusaha mengingat.

“Aa Bu, saya ingat tapi kami tidak berkenalan, bahkan saya juga tidak ingat wajah beliau seperti apa,” kataku masih kebingungan.

“Tapi dia tahu nama lengkapmu,”

“Ah tidak mungkin Bu, kami sama sekali tidak bicara nama, jilbab saya juga menutupi nama di baju, seingat saya beliau berkata akan berkunjung kemari dalam waktu dekat. Itu pun setelah beliau membaja badge sekolah di lengan baju”.

Aku masih kebingungan dengan kejadian itu yang sampai membuatku menjadi trending topic di kalangan guru dan siswa. Hadiah sudah aku terima, sebuah jam tangan cantik berwarna putih. Meski tidak sempat bertemu dengan beliau, aku berharap suatu saat bisa dipertemukan lagi dengan beliau.

Menurutku kejadian anak sekolah berbagi bangku dengan orang yang lebih tua, apalagi membawa anak kecil adalah hal yang lumrah. Tapi ada saja orang yang memberi apresiasi lebih karena hal itu. Kejadian demi kejadian, perkenalan demi perkenalan, obrolan demi obrolan di bus adalah pembelajaran bagiku. Apalagi ketika mengamati mereka, para wanita super yang mengabdi pada pekerjaan dan rumah tangga mereka. Membantu ekonomi suami, dan tidak melupakan tugas sebagai istri dan ibu.

Aku belum bisa membayangkan jika enam atau tujuh tahun lagi aku berada di posisi mereka. Wanita super dengan tenaga super, otak super untuk melahirkan ide-ide super yang menyiasati peran ganda mereka. Subhanallah mulianya wanita, apalagi wanita shalihah yang bisa menjadi penuntun ke surga bagi suaminya.

Setiap pulang sekolah begitu turun dari bus, aku langsung berpikir hal apa lagi yang akan aku temui hari esok, siapa lagi yang akan mendapat predikat wanita super versiku, orang seperti apa yang besok akan ngobrol berbagai hal denganku, ah tidak sabar naik bus lagi.

_dra_

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images