Kaleidoskop ke Negeri Jiran

Maret 12, 2016


        Satu tahun bolak-balik melakoni pekerjaan yang orang bilang asyik itu, kadang memang menjadi alasan untuk lebih bersyukur. Belajar dari sebentuk perjalanan adalah pengalaman luar biasa yang mungkin sebenarnya bisa saya bagikan ke orang lain—tapi setelah sekian perjalanan dilakoni, rupanya baru ini yang bisa saya bagikan: biasanya sekadar catatan perjalanan pribadi di blog tersembunyi hehe J
     Februari 2015, awal perjalanan tanpa rencana panjang—hanya karena mendapat info tiket pesawat promo. Beruntunglah, keisengan membuat paspor pada zaman SMA (2014), akhirnya bisa dimanfaatkan. Setelah kurang lebih tiga minggu memantau harga tiket pesawat PP, akhirnya bisa mengantongi best deal seharga Rp 753.400 dengan rute Yogyakarta – Kuala Lumpur – Jakarta.
      Ini adalah perjalanan serba perdana—perdana naik pesawat, perdana ke luar negeri, perdana jalan bareng kolega, dan perdana jadi pelancong. Bisa dibayangkan: betapa semalaman tidak bisa tidur, dan sedikit rempong saat packing. Tapi, sudahlah itu setahun yang lalu dan tanpa disangka, kini minimal dua bulan sekali harus menjelajahkan kaki di negeri seberang.
    Berawal dari keisengan melancong itulah setidaknya saya belajar bagaimana agar bisa kembali berkunjung. Konon katanya, ketika berkunjung ke suatu negara kita harus menyisihkan sejumlah mata uang agar bisa kembali lagi berkunjung. Percayalah itu mitos! Meski setiap perjalanan saya selalu menyisihkan uang, dan Insya Allah selalu bisa datang lagi (tuntutan pekerjaan).
       Pada pertengahan 2015, saya diberi kesempatan lagi untuk melakoni perjalanan kedua. Kali ini bukan dilatarbelakangi iseng dan tiket promo, ini adalah masa uji coba profesi pelancong atau bahasa kerennya tour leader, tapi agak geli juga kalau dibilang guide (apalah daku, yang tidak lihai cas ciscus bahasa inggris). Kesempatan pertama ini terlalu petcah, dan terlalu naif jika saya harus menolak kesempatan selanjutnya. Bayangkan saja, ini adalah pengalaman luar biasa ketika kita travelling dengan para traveller dari berbagai penjuru Indonesia yang belum kita kenal sebelumnya. Hanya dalam waktu satu jam sebelum pesawat lepas landas, setidaknya saya baru mengetahui nama dari masing-masing partner perjalanan.
      Lebih asyiknya lagi, travellers terdiri dari berbagai profesi dengan logat bahasa yang super petcah seperti ketika orang Solo berebut bangku dengan orang Jeneponto. Ketika orang Jawa, Sunda, Papua, dan Riau, mereka saling menyapa hangat di pagi hari dan saling bertukar roti untuk sarapan. Atau paling berkesan ketika traveller muslim sedang ibadah di mushola mall, yang non muslim menjaga barang-barang mereka dan setia menunggui tanpa berkeluh. Percayalah hal-hal itu yang membuat saya belajar banyak dari setiap perjalanan.
     Terlepas dari kemegahan Twin Tower, Batu Cave dan bangunan di Dataran Merdeka yang selalu menjadi destinasi pokok, saya selalu ingin kembali ke negeri ini. Bukan, bukan berarti saya tidak cinta Indonesia, tapi dengan perjalanan itulah setidaknya bisa menambah pengalaman, relasi dan banyak hal yang mungkin bisa dimengerti ketika kita benar-benar melakoninya, read: susah diungkapkan dengan kata-kata.
          Dan ketika datang kesempatan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya, dengan senang hati saya tidak bisa menolak. Adakah yang mau menolak kesempatan travelling gratis, dan bertemu banyak relasi? Sejauh ini jika saya menolak dengan alasan kesehatan saja. Selebihnya alhamdulillah dijalani dengan suka cita, meski pegal dan kadang panik berlebih ketika menghadapi sedikit kendala mengenai penerbangan, atau traveller yang tiba-tiba hilang dari rombongan.

      Well, karena hidup adalah tentang belajar dan mengajari, rasanya tidak akan berarti jika cerita perjalanan itu tidak dibagikan. Insya Allah, setelah ini akan banyak posting mengenai perjalanan, pengalaman, tips dan sejenisnya. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images