Yang Belum Sempat Kuceritakan
April 04, 2016
Aku pernah mengatakan padanya seperti ini, “Jangan pernah berhenti
menulis, Ra. Anggap saja ketika kamu menulis berarti kamu sedang menasihati
diri sendiri, sedang mengingatkan sesuatu untuk diri sendiri.”
“Dengan begitu, berarti kamu menulis dengan hati dan siapa pun yang
membacanya, mereka juga membacanya dengan hati, Insha Allah bermanfaat,”
ujarku.
Ia mengangguk paham. Kali ini ia tersenyum lebar—lebih tepatnya
meringis seperti anak kecil yang ketahuan berbohong. Aduhai, manis sekali.
“Siap Ndan! Prajurit akan siap lebih semangat lagi menulisnya,”
ujarnya sembari bangkit dari duduk dan mengambil posisi hormat, layaknya
seorang prajurit yang diberi perintah oleh komandannya.
Sungguh bila mengingat itu, aku jadi seperti orang
ling-lung—senyum-senyum kecil lalu sadar kalau sedang senyum sendiri. Apakah
aku seperti orang yang sedang jatuh cinta? Kupikir, iya. Tapi terlambat. Bahkan
amat—sangat terlambat. Aku terlambat jutaan jam atau ribuan hari, dari waktu
yang seharusnya aku menyadari bahwa aku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta berkali-kali, setiap rindu itu memelukku dalam
sunyi. Aku jatuh cinta padanya ketika kembali mengingat kebersamaan kami dulu.
Dulu saat mestinya kebersaaan itu membuatku jatuh cinta padanya. Aneh. Iya aku
memang aneh. Anehnya lagi aku sama sekali tidak pernah mengingat-ingat kenangan
itu. Tiba-tiba saja begitu banyak hal yang memaksaku untuk mengingat masa lalu.
Baiklah, aku memang menyesal. Tapi kupikir apa yang harus aku sesali? Toh, aku juga tidak tahu bagaimana perasaannya dulu padaku.
***
Namanya Kayra. Aku memanggilnya Rara, begitu nama kecilnya. Kami bersahabat sejak lama. Lebih tepatnya sejak
kami bertemu pada pertemuan pertama di ekstrakurikuler saat SMA. Dia gadis yang
pendiam, tapi aktif. Kalem, tapi ceria. Alim, tapi konyol. Ah, susah sekali
menggambarkan kepribadiannya. Kadang ia menjelma menjadi anak kecil yang super
manja, bahkan merengek-rengek jika keinginannya tidak kupenuhi. Tapi, sebenarnya
ia adalah gadis yang tangguh, cerdas, mandiri, puitis, dan galak.
Aku menganggapnya sahabat. Kami berteman baik—bersahabat baik lebih
tepatnya. Ia bisa menjadi adik yang menggemaskan, kakak perempuan yang bijak,
dan sahabat yang sebenarnya. Tidak jarang, kedekatan kami mengundang prasangka
dari teman-teman dan dewan guru—mereka kira kami pacaran. Ah, mana mungkin
pacaran. Dia gadis alim, meski bukan anak Rohis. Kami tidak pernah bersentuhan,
kecuali berjabat tangan—itu pun amat sangat jarang. Tidak pernah bercanda
sampai menyentuh-nyentuh kulit, kecuali mencubit lengan.
Kau tahu? Aku pernah putus dari pacarku, karena dia cemburu dengan
Rara. Aku juga pernah ditolak ketika menyatakan cinta kepada adik kelas,
alasannya karena aku terlalu dekat dengan Rara, jadi dia takut akan sering
cemburu.
Dan kau tahu? Apa reaksi Rara ketika kuceritakan itu padanya? Dia
tertawa terbahak-bahak, kemudian menasihatiku panjang lebar layaknya kakak
perempuan yang memergoki adik laki-lakinya pacaran di serambi masjid.
“Aku punya dua tips supaya cintamu tidak ditolak lagi,” katanya
ketus, seperti kakak OSIS yang sedang menghukum adik MOS.
“Satu, jauhi aku dan kita tidak perlu lagi berteman bahkan
bersahabat seperti ini. Kita tidak boleh lagi saling menasihati, mengerjakan
mading bersama, meliput kegiatan bersama, bertukar bekal, bertukar jaket, dan,”
“Cukup. Aku nggak mau tips itu. Ganti tips yang lain,” ujarku
menghentikan kalimatnya. Kali ini ia mulai tersenyum dan melanjutkan nasihatnya
dengan lebih lembut.
“Dua, datangi orang tuanya di rumah. Bukan datangi si gadis di kelas
atau di UKS. Percayalah, hati gadis mana yang tidak luluh ketika orang tuanya
di datangi pangeran tangguh seperti itu. Bahkan, kamu bakal dapat lebih dari
pacar, tapi istri. Mau?”
Sungguh cerdas sekali. Bahkan aku tersipu malu, mendengarkan nasihatnya. Sampai-sampai aku meninggalkannya dengan kikuk saking malunya. Sejak saat itu, aku tidak lagi iseng menyatakan cinta—toh aku juga sebenarnya tidak sungguhan jatuh cinta. Entahlah, Rara adalah penasihat yang petuahnya sangat aku pertimbangkan setelah nasihat dari orang tuaku.
Sungguh cerdas sekali. Bahkan aku tersipu malu, mendengarkan nasihatnya. Sampai-sampai aku meninggalkannya dengan kikuk saking malunya. Sejak saat itu, aku tidak lagi iseng menyatakan cinta—toh aku juga sebenarnya tidak sungguhan jatuh cinta. Entahlah, Rara adalah penasihat yang petuahnya sangat aku pertimbangkan setelah nasihat dari orang tuaku.
***
Suatu ketika, tiga bulan sebelum Ujian Nasional, Rara mengajakku
mendatangi penerbit dan perusahaan media di kota sebelah yang sudah mengikat
kontrak kerja sama dengannya sejak beberapa bulan yang lalu. Kami pergi berdua, naik bus kota. Aku tidak terbiasa dengan hiruk
pikuk bus kota kelas ekonomi seperti ini. Aku mulai bad mood, dengan segala rencana pejalanan hari itu.
“Biasa naik mobil pribadi, dingin, dan wangi. Jadilah seperti ini,
angkuh dengan hal kecil yang menjadi andalan banyak orang,” ujarnya
menyindirku.
“Kamu juga nggak biasa naik bus kayak gini kan? Tahu gini, tadi aku
bawa mobil bokap,” gerutuku.
“Ji, sesekali pergilah ke tempat asing yang jauh dari tempat
kesaharian kita. Naiklah kendaraan yang tidak pernah kita naiki. Makanlah di
tempat makan yang tidak pernah kita kunjungi karena alasan gengsi. Dari situ
kita bisa lebih bersyukur dengan apa yang kita miliki,” ini kesekian jurus
ampuhnya yang membuatku berhenti mengeluh dengan keadaan. Lama-lama aku
mengkhawatirkan sesuatu.
“Ra, bentar lagi kita bakalan pisah ya. Kamu lanjut kuliah di ujung
selatan, aku lanjut di ujung utara. Kapan kita ketemunya ya? Libur semester
belum tentu bareng, libur lebaran belum tentu sempat. Terus siapa yang bakal
nemenin kamu kalau pergi-pergi gini?” Ujarku. Rara diam, ia seperti memikirkan
sesuatu. Aku menunggu jawabannya. Seperti ada yang tertahan di bibirnya, enggan
ia katakan. Tapi aku yakin, ia memiliki kekhawatiran yang sama denganku.
***
Akhir-akhir ini sejak Rara sering berkunjung ke kantor penebit itu,
ia sedikit berubah. Terakhir dua minggu lalu ia datang kesana sendirian, karena
aku harus menghadiri wisuda kakakku. Rara jadi jarang mau kuajak ke
perpustakaan, ke kantin dan tidak mau lagi menonton pertandingan basket tiap
Kamis sore. Jujur saja, ketika tidak bersama Rara, jadi banyak teman-teman
perempuan selainnya yang mendekatiku. Bahkan ada yang memikat hatiku. Rara
tidak tahu. Aku tidak memberitahunya.
Rara sibuk, dengan skrip naskah calon novel perdananya. Sibuk
bimbel. Dan sibuk meriset artikel-artikelnya. Sementara aku, sibuk mencari
alasan refreshing di tengah kepenatan
menghadapi Ujian Nasional.
Suatu sore, dua minggu menjelang ujian. Rara tiba-tiba muncul dari
koridor kelas, ia berjalan mengiringiku. Menyadari keberadaannya, aku memperlambat
langkah, sehingga kami berjalan beriringan pelan. Tempo yang pas untuk
mengobrol sambil berjalan. Aku merindukan candanya.
“Halo adik manis, lama tidak mendengar rengekanmu meminta roti keju
dan susu strawberry,” candaku merekahkan senyumnya, manis sekali.
Aku merogoh sesuatu di saku samping tasku. Kucolek lengannya, sehingga ia kaget dan menghentikan langkahnya. Kuisyaratkan
tangannya untuk mengadah. Ia menurut, polos sekali ekspresinya. Ketika tanganku
meletakkan sesuatu di atas tangannya, senyumnya kembali merekah, diiringi tawa
kecil.
“Hadiah untukmu karena sudah sebulan ini kamu tidak meminta jatah
telur dadar di bekalku, tidak mengambil bolpenku, tidak menjahili hapeku, tidak
menukar kaos kakiku di mushola. Tapi ingat, setelah ini kamu harus mentraktirku
kwetiaw pedas, karena kamu tidak menemaniku ke perpustakaan, tidak menemaniku
ke kantin, tidak menemaniku nonton pertandingan basket, tidak memberiku
kesempatan untuk bercerita panjang lebar.”
Rara tertawa mendengar celotehanku. Ia berlari kecil menuju bangku
panjang di depan koridor kelas. Ia duduk di sana, membuka kemasan susu kotak
rasa strawberry pemberianku. Aku mengikutinya, duduk di sebelahnya.
“Kamu aneh,” katanya. Ia meneguk lagi minuman itu. Aku diam, aku
tahu ia akan melanjutkan kalimatnya.
“Kadang kamu menganggapku adik kecil yang manja, yang selalu
merepotkan kakaknya. Kadang kamu menganggapku kakak perempuan yang bijak
bestari,” lanjutnya dan berhenti lagi. Ia meneguk lagi jajanan favoritnya.
“Karena kamu jelmaan dari keduanya,” ujarku, sebelum ia melanjutkan
kalimatnya lagi.
“Berarti, kalau aku adik perempuan, sebentar lagi aku akan punya
kakak ipar yang cantik dan baik hati, iya kan?” Tanyanya membuatku tercekat.
Aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Kami diam beberapa menit. Membuang
pandangan lurus ke depan. Bibirku bergetar, ingin mengatakan sesuatu tapi
tertahan. Sementara Rara lebih tenang, ia menyempatkan menyeruput habis susunya,
hingga bunyi sedotan membuat kami saling menoleh.
“Ini yang belum sempat kuceritakan padamu. Maukah kamu sekarang
menjadi kakak yang bijak bestari untukku?”
“Jadi benar, kata mereka. Kata teman-teman maksudku, kalau kamu ada
hu,”
“Ssssttt, kamu belum jawab permintaanku.”
“Ehm, baiklah adik laki-laki tampan. Nasihatku masih sama seperti
dulu, kuharap kamu masih mengingatnya. Kakak harus segera pulang, hari sudah
sore,” ujar Rara sembari berdiri dan bersiap mengambil langkah. Tiba-tiba
tangannya melambai ke arah ujung koridor. Aku menoleh ke arah lambaian
tangannya. Seorang gadis berdiri di sana, mengangguk ke arah Rara. Aku diam
beku.
“Aku pulang dulu, selamat sore,” pamitnya terdengar sumbang. Bahasa
tubuhnya terlihat kikuk. Bahkan ketika ia mulai melangkah, sempat kutangkap
satu kata dari bibirnya, tapi tidak bersuara. Seperti biasa sebelum kami
berpisah, biasanya dia mengucapkan kata terakhir “bye”.
Tiba-tiba, dadaku sesak sendiri. Aku diam dan serasa beku. Ada gurat kecewa yang kutangkap darinya. Tapi apa maksudnya?
***
Hujan sendu, di senja yang kelabu. Aku tengah kalut menahan
kerinduan yang nyaris tak bisa kuungkapkan. Rindu itu tak pernah sekalipun bisa
terobati, meski dengan temu sekali pun—sebab aku merindukan masa lalu.
Hari ini kami menghabiskan waktu seharian bersama. Sudah lama
sekali, kami tidak melakukan kebiasaan masa remaja dulu, duduk bersama asyik
dengan dunia masing-masing sembari bercerita tentang banyak hal. Setidaknya
sejak lulus SMA empat tahun yang lalu.
Kami melanjutkan sekolah di kampus impiannya—bukan impianku, sebab
impianku sudah tertambat padanya. Satu kampus, beda fakultas, dan prodi yang
kontras. Itu membuat kami tak lagi seperti dulu. Menurutnya, kini aku jadi
pendiam, padahal dia juga demikian. Kami tak lagi banyak bicara, tak banyak
bercanda. Sesekali kami tertawa untuk mengatasi kekikukan yang tak jarang
membekukan suasana. Ah, sungguh aku merindukan masa lalu.
“Rara”
“Panji”
“Haha, kok jadi bareng gini? Kamu dulu deh,”
“Kamu dulu Ji, hihi apa sih?,”
“Dulu, kalau lagi rebutan sesuatu kamu selalu bilang Ladies First,
so sekarang kamu harus ngomong duluan.”
“Hmmm… Gitu deh, selalu parameternya dulu,” ada kesal di wajahnya,
persis seperti ketika dulu ia tengah menjelma anak kecil yang kesal dengan
kakaknya.
“Panji, minggu depan…”
“Ehm, minggu depan aku…” ia melanjutkan kalimatnya yang tertahan.
Seperti ada keraguan untuknya mengatakan sesuatu padaku. Aku semakin seksama
menunggu kalimat selanjutnya.
“Iya, ada apa dengan minggu depan, Ra?”
“Minggu depan aku harus pulang, karena Bang Ali akan ke rumah
bersama keluarganya. Ia akan melamarku. Dua bulan lagi aku wisuda,
setelahnya kami akan menikah,” tuturnya. Aku tak bergeming, tak merasakan apa
pun. Aku tak bahagia, pun tak juga merasa hancur. Aku diam. Hanya berpikir apa yang
akan kukatakan padanya.
“Apakah ini kabar bahagiaku masih menjadi kabar bahagiamu juga?” Tanyanya.
“Tentu, masih seperti dulu. Semua celotehanmu menjadikanku ikut
merasakan semua yang kamu ceritakan. Aku sangat bahagia, jika kamu telah
menemukan pelabuhan hatimu,” ujarku. Masih sama, aku tak bisa merasakan
perasaan yang semestinya.
“Kamu, masih selalu menjadi sahabat pertama yang menerima segala
kabar bahagiaku,” ujarnya diiringi senyum yang tiba-tiba membuat dadaku pegal.
“Oh ya, tadi apa yang ingin kau katakan padaku? Ayo sekarang
giliranmu,”
“Ah, tidak. Aku hanya ingin mengingatkan hari sudah sore dan hujan
sudah reda, kapan kau akan pulang? Aku masih harus tinggal untuk mengecek ulang
esai ini.”
“Kamu mengusirku?” Gerutunya.
“Duh, kan ngambek. Aku hanya mengingatkan, tidak mengusir,” aku
membela diri.
“Baiklah, lima menit lagi, menunggu jemputan.”
“Dijemput Bang Ali?” Tanyaku ragu. Ia mengangguk mantap. Senyumnya
merekah. Seketika itu aku hancur.
Banjarnegara, 4 April 2016
0 komentar