Serupa Rindu

Agustus 15, 2017


Pagi-paginya sore. Bus 1A yang kutumpangi seratus meter lagi sampai di halte tujuan. Apa daya, sudah tujuh menit bus tak bergerak. Jogja semakin macet—benar katamu. Ah tapi mengapa kamu lebih memilih Jakarta yang jelas berkali lipat lebih macet?

Bus menepi, penumpang turun lebih dahulu, penumpang naik—menepi, memberi jalan. Pagar gedung yang ingin kutuju sudah terlihat, sekitar lima puluh langkah lagi. Hap-hap, langkahku mantap dibarengi senyum sumringah sebagai pecandu buku yang akan memborong buku-buku incaran dengan voucher diskon 50%. Kamu pasti tahu dengan baik, bagaimana aku menggemari membaca—hanya saja mungkin kamu tidak memahaminya. Tahu dan paham itu beda—begitu katamu.

Satu penyeberangan lagi, kira-kira dua puluh langkah lagi, tapi entah berapa lama lagi. Menyeberengi Jalan Sudirman memang harus sabar, ramai, riuh dan harus waspada. Seketika hujan turun deras tanpa aba-aba. Langkahku melebar setengah berlari. Sampai di tangga paling atas depan pintu utama, kuputuskan berhenti, mengatur napas setengah tersengal-sengal. 

Segerombol remaja keluar dari kafe di sebelah kanan  gedung, salah satu di antara mereka menyinggung punggungku, aku menoleh. Bau karamel menyerbak dari pintu kafe yang masih terbuka. Menggoda. Ragu, tapi akhirnya aku melangkah masuk. Aroma krimer, cokelat seduh, dan sandwich butter menyambut. Sungguh aku tak bisa menolak, meski sudah dua tahun ini aku berusaha menghindari tempat ini. Aku berusaha tidak menyukai suasana hujan di kafe favoritmu ini. Untuk apa? Untuk tidak mengingat lagi waktu yang pernah kita habiskan bersama—di sini, di sudut ruangan ini.

Satu gelas Lime Squash dan satu Croissant Hazzelnut dengan taburan gula halus. Menu yang sama seperti yang kupesan terakhir bersamamu, kau pasti tahu aku tidak pernah ganti menu setelah menemukan menu yang kusukai. Kuteguk pelan, me-nik-mati aroma ruangan berlatar gemericik hujan di luar sana. Seperti meneguk rindu yang sudah lama kubiarkan mendingin—pilu. Ah, rupanya aku merindu. Entah apa, entah siapa.

***
“Yaaahhh Mas, huuujan. Kita pulang nunggu reda aja ya?”
“Memang kenapa kalau hujan. Hujan nggak ditunggu aja datang, ngapain reda ditunggu, nanti juga reda.” Kamu menarik pandangan matamu dari layar laptop, kemudian menoleh ke arah jendela.
“Iya maksudku kita pulang kalau sudah reda.”
“Kalau nggak reda?” Kini kamu menatapku, seperti memuntut penjelasan
“Pasti reda!”
“Kalau nggak?”
“Tadi nggak hujan aja sekarang hujan, sekarang belum reda, nanti pasti reda.”
“Kalau orang yang sekarang nggak kenal aja ada yang besok bisa hidup bersama, kalau yang sekarang kenal dan berteman besok gimana ya?” Ujarmu sembari mengangkat segelas Ice Cocholate, kemudian mengisapnya dari ujung sedotan.
“Tetap kenal, atau tak lagi mengenal, tetap berteman atau lebih dari berteman.” Ada sesuatu.
“Besok-besok kita masih berteman kan?”
“Gimana kalau musuhan aja?”
“Kok gitu?”
“Ya kok kamu nanya gitu?”
“Nggak apa-apa, aku cuma kepikiran temanku aja.” Kamu menoleh lagi ke arah jendela.
“Temanmu kenapa?”
“Emm, aku pacaran sama temanku. Jadian minggu lalu, aku belum cerita ya?” Ujarmu ragu.
“Meletus balon hijau!” Ujarku bergeming. “Aku ada kelas e-learning sekarang, duh lupa!” Demi apa pun aku berbohong, asalkan jangan kamu lanjutkan lagi kalimatmu itu.

“Meletus balon hijau, hatimu sangat kacau, hhhmm ternyata cuma kelupaan ada kelas aja, hatimu terus kacau ya, rapuh ah.” Ujarmu setengah terkekeh, sembari mengulang-ulang lirik lagu itu pelan. Sementara aku, masih kelu lidah, nyeri dada, dan lemas di lutut. Apa yang kamu katakan cukup terdengar dengan baik dan aku enggan mengoreksinya. Sebab, tidak ada yang salah—kita sama-sama tidak tahu di mana hati akan jatuh.

Aku terus menyibukkan diri, mengetik sesuatu, membuka-buka buku, mencatat sesuatu. Hanya karena sedang tidak memberimu kesempatan untuk mengajakku bicara. Sementara kamu terus memperhatikan. Aku semakin kalut, menata hati seketika di depan orang yang menghancurkannya adalah lebih sulit daripada meneguk rindu tanpa temu.

Demi apa pun membohongi seseorang sama saja membohongi diri sendiri—sebuah harga yang harus dibayar karena dua anak manusia yang tidak pernah membicarakan perasaan masing-masing.

“Kamu e-learning aja, tekun banget ya, cerita dong gimana kalau di kelas?”

“Mas, aku lagi serius jawab pertanyaan buat presensi.” Maaf bohong, batinku sembari menekuni layar laptop yang sudah ter-shutdown.

“Hmmm, okay.” Ujarmu mengalah.

Kuhirup aroma krimer dan butter yang mendominasi ruangan, menahannya beberapa detik sebelum kuhembuskan perlahan. Lebih tenang, tapi semakin kacau ketika memoar itu kembali melintas di kepalaku. Tentang impian-impian yang terlalu sering kita bicarakan bersama, tentang beberapa sepakat, dan tetang banyak hal dari kita yang kita bagi berdua.

“Mas, aku mau pulang.” Menyerah—aku menyerah, tidak lagi bisa bertahan.
“Nah, lho? Katanya ada kuliah e-learning?”
“Udah selesai, aku mau pulang.”
“Kamu ada kelas habis dzuhur, kan? Masih, lama nunggunya.”
“Tapi aku mau pulang.”
“Kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta pulang, nggak akan aku kasih.”
“Aku nggak minta kok, aku cuma mau pulang sendiri. Diskusi kita udah selesai juga, kan? Aku masih harus ke kampus dan kamu harus segera pulang untuk persiapan sidang besok.”
“Rain! Aku nggak ngerti deh mau kamu. Kita ke sini bareng, pulang juga bareng dong. Hujan belum reda, tapi kamu mau pulang, oke kita pulang.” Tukasmu dengan nada meninggi. Dan kita bergegas mengemasi perkakas, kamu berjalan lebih dulu menuruni anak tangga menuju tempat parkir motor. Langkahku berhenti, gerimis masih turun—benar katamu, ini belum reda.

Maka sepanjang perjalanan kamu mengantarku ke kampus adalah perjalanan kita paling dingin memilukan. Di antara rintik gerimis sore itu, aku menangis tanpa isak—aku menangisi  sesuatu yang hilang meski tidak benar-benar aku memilikinya.

“Rain, kamu basah ya? Aku antar ke kos dulu ya, ganti baju dulu, baru ke kampus lagi.”
“Nggak perlu Mas, basah sedikit, nanti juga kering.”
“Nanti aku jemput jam berapa?”
“Nggak usah Mas, nanti ojol aja.”
“Gerimis kayak gini bakal awet, kamu yang bilang sendiri kalau gerimis aja ojol bakal susah. Nanti  sore juga ada final AFF sampe malam, ojol bakal lebih susah. Kamu mau pulang naik apa coba?”
“Mas, sesuatu yang pergi jika memang dia adalah rumah, pasti dia akan pulang, kan? Entah bagaimana caranya.”

Kamu tidak bergeming. Sementara aku terisak memeluk tas punggungmu. Tapi tiba-tiba kamu menepi, menghentikan laju motormu.

“Rain, kamu lupa kalau aku selalu tahu apa yang tidak kamu katakan dengan baik-baik. Kamu lupa kalau aku selalu tahu apa yang kamu lakukan dengan tidak baik-baik. Kamu ada sesuatu?”

Aku kelu tidak bisa menjawab—hanya mengangguk kecil tapi kamu tidak melihatnya. Hujan kini menyisakan rintiknya yang begitu lembut ketika motormu berhenti di pelataran parkir kampusku.

“Rain, ada sesuatu?” Aku tidak bisa menjawab, hanya gelengan kepala dan senyum yang berusaha susah payak kembangkan.
“Kalau nggak ada, nanti aku jemput ya?” Kini ada khawatir di wajahmu.
“Nnnggak usah Mas. Nanti mau pulang sama temen.”
“Owh, sejak kapan kamu ada teman yang antar pulang?”
“Kayaknya kamu nggak perlu tahu, Mas.”
“Tapi kalau dari tadi menurutku kamu aneh banget, bilang ada kuliah e-learning padahal laptopmu udah di-shutdown, dan tiba-tiba minta pulang, itu aku perlu tahu, kan?”

Deg.. Kamu memang tahu apa yang tidak aku katakan dengan baik, tapi kamu tidak bisa memahaminya dengan baik. Tenggorokanku tercekat, beberapa bulir dari pelupuk mata meluncur begitu saja melewati pipi. Aku menangis di depanmu, menangisi diri sendiri dan perasaan yang entah apa namanya.

Kamu nampak tenang, mungkin juga membiarkanku menangis dan menungguku berbicara sesuatu.
“Mas, jangan hubungi aku dulu ya, jangan temui aku dulu, apa pun kepentingannya. Ada sesuatu yang harus aku buat biasa saja.”

Kamu hanya mengangguk, seperti ada sesuatu tertahan di tenggorokanmu. “Rain,” ujarmu menghentikan langkahku. Aku menoleh. “Baik-baik ya.” Ujarmu sembari tersenyum. Sementara aku, semakin tidak bisa menahan isak yang susah payah kusembunyikan. Aku tidak tahu apakah aku bisa baik-baik saja dengan kehilangan sesuatu yang tidak benar-benar kumiliki—yang aku tahu, dengan tidak bertemu dalam bentuk apapun semua bisa menjadi biasa saja.

Dengan kita yang saling berjalan menjauhi, aku mengerti—dua anak manusia tidak baik jika dari keduanya berhubungan dengan sangat baik. Women and man can't just be a friend, sebab kita tidak pernah tahu di mana hati masing-masing akan dijatuhkan—seperti aku yang jatuh padamu, dan kamu yang jatuh pada hati yang lainnya. Maka, kita butuh jeda tanpa temu untukku bangun dari jatuh pada hatimu.

Uhhuk.. uhhuuuk..

Asap rokok yang mengepul di depanku mengembalikan sejumlah realita yang baru saja tenggalam pada memoar berlatar rindu dan hujan. Rupanya asap rokok milik segerombol remaja yang tadi sempat menubruk pundakku. 

Kutengok jendela kaca di depanku—memastikan hujan masih turun di luar sana dan aku bisa berlama-lama berburu buku, sembari menunggu reda. Kuteguk Orange Ice, hingga menyisakan ice cube di dasar gelas, sebelum beranjak meninggakan meja dan melangkah menuju conecting door yang menghubungkan kafe dan toko buku.

“Permisi,” seseorag mendahuluiku memegang gagang pintu dan membukanya.
“Oh maaf, silakan,” ujarku setengah kaget sembari bergeser memberinya jalan. Beberapa saat yang lalu aku menghentikan langkahku dan urung membuka pintu. Langkahku berhenti seketika melihat seseorang berjalan dari parkiran dan berjalan menuju pintu utama toko buku dengan tergesa-gesa. Ia sempat berhenti di depanku—di balik pintu kaca, sembari mengusap rambutnya yang terkena hujan.

Berulang kali kuyakinkan diri sendiri untuk melanjutkan langkah, tapi semakin ragu ketika seseorang itu melanjutkan langkahnya memasuki toko buku dan aku mengurungkan niat untuk ke sana. Lalu kuputuskan untuk pulang meski hujan belum terlalu reda. 

Hujan sore ini membersamaiku memeluk rindu yang tak kubiarkan menuai temu, meski jarak tak lebih dari dua langkah kaki, tapi aku belum berhasil membuat sesuatu tentang kita menjadi biasa saja. Aku hanya butuh waktu lebih lama dari jeda kita tanpa temu ini, tapi tidak perlu lebih lama dari selamanya. Aku masih butuh belajar dari hujan yang merindukan lautan—jika ia jatuh di tengah daratan, ia akan terus mengalir menuju muara. Aku telah jatuh seperti hujan, aku tengah mencari celah menuju muaraku—entah kamu atau lainnya yang menjadi lautanku.

***
Yogyakarta, selepas hujan
Dear: Rain,
Maaf, aku menghubungimu dulu. Hujan yang tadi menyuruhku mengirim surel ini, entah untuk apa sebab hujan serupa rindu (seperti katamu) yang tidak bisa kubiarkan tanpa temu.
Rain, bisakah kita bertemu?

Rinduku sudah sampai di pelupuk mata, sudah tidak ada hujan, mestinya juga rindu tidak boleh lagi ada.


Story by Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan: Serupa Rindu #6
Sumber Gambar: Pexels.com by Lisa Fotios

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images