Serupa Hati yang Jatuh

Mei 27, 2018


         
“Apa kamu ingat, kamu pernah mengatakan ini padaku.”

“Banyak hal yang pernah saling kita katakan, sebagian dari itu kita sepakati,” matanya menerawang jauh di antara gerimis.

“Ini tentang hati,” sungguh aku tidak yakin mengatakan ini. Kini ia menoleh ke arahku, mata kami bertemu, detik berikutnya ia kembali menyisipkan pandangan di antara gerimis. Aku kalut, dadaku memberontak, sebagian perasaanku kini hanya tentang ketidakpastian yang sejak bertahun-tahun yang lalu aku bangun sendiri.

“Bukankah hati adalah hal yang tidak pernah kita bicarakan?” Ujarnya, masih dengan memandangi gerimis.
         
 “Kamu mungkin lupa.”
       
“Aku mengingat semuanya dengan baik, bukankah jika kita pernah membicarakan hati, sore ini kita tidak bertemu di sini?”
         
Sial, aku berbicara dengan pemilik hati yang kucuri dan kini di depannya aku tak berani untuk mengembalikannya, padahal ia tahu akulah sang pencuri itu. Aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menyadari apa-apa yang kulakukan padanya, bertahun-tahun aku mengganti hatinya dengan ketidakpastian yang kini menghuni sebagian perasaanku.
          
“Kamu bilang, setiap hati manusia adalah hujan, jatuh di tempat yang tidak bisa kita minta. Aku mengingat itu dengan baik, aku pikir aku dan kamu adalah hujan.” Ujarku mencoba tetap tenang, meski ujung jemariku serasa beku. Kedua kalinya ia menoleh ke arahku, sedetik mata kami bertemu, detik berikutnya ia menunduk.
             
“Aku membaca itu dari buku, dan aku sepakat. Aku dan kamu adalah hujan, aku jatuh padamu dan kamu jatuh pada yang lainnya.” Tukasnya yang membuat jemariku semakin beku.
           
“Apa kau sepakat denganku?” Tanyanya lembut sembari menatap lekat kuningan di jari manis kiriku beberapa detik. Kutarik tangan kiriku dan menyembunyikannya di saku celana.
             
“Tidak kali ini.” Tegasku. “Bodoh! Bagaimana bisa kamu mengira aku tak jatuh hati padamu, setelah apa-apa yang kita habiskan bersama, menyepakati banyak hal, dan berbagi impian.” Dadaku memberontak.
            
“Kamu jatuh padaku, dan aku jatuh padamu. Itu yang sebenarnya terjadi. Tapi aku terlalu bodoh karena tidak menyadarinya segera, bahkan seakan hujan yang sebenarnya. Jatuh berkali-kali pada tempat yang sama.” Kuambil jeda, dadaku butuh ruang yang cukup untuk menampung perasaan seperti ini.
        
“Aku terlalu sibuk menikmati jatuh setiap saat, hingga aku tak mau ada hal lain yang kita bicarakan. Aku mengambil diam untuk menikmati jatuh itu, tanpa berpikir kau juga jatuh padaku. Aku berpikir bahwa aku tidak bisa selamanya seperti itu, aku mencoba menjadi hujan yang lainnya dan jatuh pada yang lainnya pula. Tapi ternyata apa yang kulakukan justru membuatmu meminta jeda untuk kita tidak bertemu. Jeda yang kamu minta itu yang membuatku menyadari, bahwa kamu adalah hujan yang jatuh padaku.” Jelasku.
        
“Sekarang kamu adalah hujan yang jatuh bukan untukku, lalu mengapa kamu meminta kita bertemu?” tanyanya.
            
“Kita bukan lagi hujan yang saling menghujani, jeda itu membuatmu mengembalikan hati yang kamu curi dariku, tapi aku pergi dengan membawa serta hatimu padahal aku telah menggunakan hatiku untuk orang lain. Aku ingin mengembalikan hatimu yang aku curi.” Klimaks, sang pencuri mengakui kejahatannya. Aku menyerah jika ia akan mengutukku saat ini.
           
Senyum tipisnya kini mengembang. “Aku lega sekarang, kini hujan adalah hujan, bukan lagi misteri bagi kita. Tapi, omong-omong terima kasih pernah menjadi hujan untukku.”
            
“Aku juga terima kasih, kamu pernah menjadi hujan yang lebat untukku. Kita adalah hujan yang memiliki lautannya masing-masing.”
               
“Sepakat!”
                
Tiin... sebuah mobil menepi. Pengemudinya membuka kaca dan melambaikan tangan ke arah kami.
               
“Keretamu sebentar lagi datang, kamu harus segera bersiap ke dalam.” Ujarnya.
               
“Apakah dia menjemputmu?” Ia mengangguk dan senyumnya mengembang.
                
“Siapa dia?”
             
“Sejak tadi kau mengembalikan hatiku yang kau curi, dia adalah lautanku meski aku belum menjadi sebenar-benarnya hujan untuknya.”
               
“Jangan membuatku merasa bersalah.”
          
“Hujan bukan kesalahan. Aku akan pamit, apakah kamu akan membiarkanku pergi tanpa menyerahkan sepucuk undangan?”
                
“Hahaha... tentu tidak akan terjadi, datanglah bersama lautanmu, sebab kita akan merayakan pesta hujan di sana.”
                
Ia melambaikan tangan sebelum bergabung dengan seorang laki-laki yang belum aku kenal. Mereka melesat meninggalkanku yang kosong. Laki-laki macam apa aku ini, berani-beraninya mencuri hati dan mengembalikkannya tanpa memastikan laki-laki yang membawanya pergi adalah laki-laki yang benar-benar baik untuknya.
               
Hari ini  aku memahami satu hal bahwa setiap hati manusia adalah hujan, ia akan jatuh berkali-kali pada tempat yang sama. Setiap hujan akan menuju lautannya. Aku adalah hujan itu, tapi dia bukan lautanku. Aku pikir dia juga berpikir demikian. Kami adalah hujan yang telah menemukan lautannya masing-masing.
                


Yogyakarta, 27 Mei 2018


Kumpulan Cerpen Sebab Hujan: Serupa Hati yang Jatuh
Story by Ratna Asih
Sumber Gambar: Pexels.com by Alex Pham


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images