Perjalanan Terakhir

April 06, 2020



Sering sekali kamu bercerita tentang perjalanan yang pernah kamu lakukan, sesekali kamu bercerita tentang perjalanan yang ingin kamu lakukan. Rupanya kita sama-sama menganggap perjalanan sebagai pelarian—pelarian dari sandiwara kehidupan, begitu ujarmu.

Aku bilang perjalanan itu seperti pencarian, tapi kamu bilang perjalanan itu penemuan.

“Apa yang kamu temukan?” Tanyaku, tak paham.

“Diri sendiri,” ujarmu lugu.

Kamu banyak bercerita tentang perjalanan yang jauh, orang-orang yang kamu temui, dan tempat-tempat asing yang kamu kunjungi. Kamu bercerita kadang dengan sangat bahagia, penuh kelegaan, dan ungkapan syukur yang diulang-ulang. Tapi tidak jarang, kamu bercerita dengan penuh kepasrahan, bahkan sendiku terasa ngilu ketika membayangkan apa yang kamu rasakan.

Suatu ketika kamu bercerita, kamu bertemu orang-orang baik di perjalanan. Mereka selalu mentraktirmu makan, membelikanmu barang yang urung kamu beli karena dolarmu tak cukup, dan menyelipkan belasan lembar rupiah berwarna merah ketika mengucapkan sampai jumpa lagi di pintu kedatangan bandara.

Lain waktu kamu bercerita, kakimu terkilir akibat terburu-buru menuruni anak tangga untuk menemui mereka yang tidak mau menunggumu sekadar dua menit, kamu juga sering melewatkan waktu makanmu untuk mengurus mereka yang banyak mau, belum lagi rasa lelah menghadapi kesinisan dan kesombongan orang-orang yang kamu temui.

“Nggak papa, orang-orang itu hijau, kuning, kelabu.” Ujarmu dengan nada lagu, sembari terkekeh kecil, ketika kutanyai bagaimana perasaanmu kala itu.

Aku pernah bertanya padamu, mengapa kamu terus melakukan perjalanan. Jawabanmu membuatku tak bisa berkomentar selain, “lanjutkan! Semoga selamat sampai tujuan ya.”

Katamu, “karena perjalanan tidak hanya mendekatkan pada impian, tapi juga pada pemilik setiap pemimpi. Aku merasa impianku semakin dekat, ketika melakukan perjalanan seperti itu. Anggap saja, impianku adalah tujuan, dan perjalanan ini adalah jalanku untuk sampai pada tujuan.”

Bagaimana tidak kamu berpikir demikian, impianmu adalah menjadi sarjana, untuk menjadi sarjana kamu butuh biaya, kamu mencari biaya dari perjalanan satu ke perjalanan lain, jadilah kamu menganggap perjalanan mendekatkanmu pada impian. Mungkin aku terlalu pragmatis, namun aku yakin ada alasan-alasan lain yang membuatmu tetap melakukan perjalanan, meski melelahkan, meski kadang mengecewakan—tidak selalu seperti yang kamu harapkan.

“Aku banyak belajar di perjalanan, aku memahami banyak hal di sana, termasuk memahami diriku yang paling apa adanya pun di sana, sebut saja pengalaman.” Ujarmu, ketika kutanya apa yang kamu dapat dari perjalanan.

“Kapan kamu berpikir untuk berhenti melakukan perjalanan seperti ini? Jika kamu sudah terlalu lelah, kumohon berhentilah.” Tanyaku, ketika menemaninya menukar mata uang sehari sebelum ia berangkat lagi.

“Pernah berpikir, tapi kapan untuk berhenti aku tak tahu. Bukankah kamu yang bilang, jalan terbaik pasti untukku?”

“Apa aku pernah bilang seperti itu?”

“Iya, aku memahatnya di mana-mana, aku mengingatnya di mana-mana, pun ketika tersesat mencari jalan, hehe.”

“Ah baiklah terima kasih sudah mengingat, ingat juga ya boleh tenggelam dalam pekerjaan tapi jangan hanyut, nanti susah kembali.”

“Tenang, aku nggak naik kapal jadi nggak akan tenggelam, paling kalau pesawatnya jatuh kelautan baru tenggelam.”

Seperti petir menyambar, dadaku memberontak. “Kelana!”, tapi ia tak mendengarnya.

***
“Pamit.” Satu kata, lewat pesan whatsapp, seperti biasa.

“Kirim nomor penerbangan.” Balasku.

“XX-8501 nggak usah di tunggu.”

“Memastikan.”

“Memastikan benar-benar pulang?”

“Pasti pulang.”

“Setiap yang pergi pasti pulang, seperti yang hidup pasti mati.”

“Jangan jorok ngomongnya!” Pesan terakhir tak berbalas.

Malam ini, aku menunggunya di depan pintu kedatangan, dengan membawakannya Mi Ayam Katsu favoritnya dari resto bandara. Sebenarnya sudah lama ia bercerita—ingin sekali ada yang menyambutnya di sini ketika ia pulang. Aku selalu sibuk, tak pernah sempat. Tapi malam ini aku berdiri di sini, bahkan hingga dua jam setelah jadwal ketibaan penerbangannya. Seperti tahun lalu, bedanya tahun ini aku lebih tegar—lebih bisa menerima bahwa setiap yang pergi pasti pulang, meski hanya nama, karena yang hidup pasti mati.

_____________________
Pesawat dengan rute penerbangan Surabaya-Singapura, lepas landas dari Bandar Udara Internasional Juanda pada 28 Desember 2014, pukul 05.35 WIB dan dijadwalkan mendarat pada pukul 08.30 waktu Singapura. Namun, pada 07.24 WIB menara pengawas lalu lintas udara Indonesia kehilangan kontak saat terbang di atas selat Karimata, Laut Jawa. Pesawat tersebut membawa 155 penumpang dan 7 orang kru. Masa pencarian korban dihentikan tepat sebelas hari setelah kecelakaan tersebut terjadi, 162 orang dinyatakan tewas. Pada tanggal 1 Desember 2015, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya mengumumkan hasil investigasi yang menyatakan bahwa bagian rudder-travel-limiter pada bagian ekor pesawat mengalami kerusakan dan kemudian ditanggapi oleh pilot dengan kesalahan yang fatal. Miskomunikasi antar pilot dan kopilot yang berlanjut akhirnya menyebabkan pesawat terjatuh. Tragedi ini merupakan tragedi penerbangan terburuk kedua dalam sejarah penerbangan di Indonesia dan merupakan kecelakaan pesawat terburuk ketiga di dunia pada tahun 2014. (id.wikipedia.org)
_____________________
Kumpulan Cerpen : Keba(l)ikan
Ratna Asih | Januari 2018
Sumber Gambar: Pexels.com by Negative Space


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images