Pertanyaan tentang Kehilangan
Juni 21, 2020
“Kamu pernah kehilangan?” seorang di sebelahku bertanya,
entah pada siapa—sedari tadi ia terlihat sedang menyelesaikan sesuatu dengan
dirinya sendiri.
Memang tidak ada orang lain di sini, kecuali aku yang sedang
memahami perjalanan seseorang yang sedang merasakan kehilangan. Debur ombak
mulai pasang, sebentar lagi jingga melenyap, tapi seorang yang duduk di sebelah
kananku masih tak bergeming. Matanya menerawang jauh, kedua tangannya memainkan
pasir.
“Jam berapa sekarang?” Ia bertanya lagi, kali ini ia menoleh
ke arahku—mata kami bertemu.
“Setengah enam.” Jawabku.
“Apa kamu sudah ingin pulang?” Tanyanya lagi.
Aku menggeleng. “Aku hanya akan menunggumu ingin pulang.” Ujarku,
masih dengan mata kami yang saling bertemu. Ia tersenyum tipis, sebelum
melempar pandangannya di antara debur ombak.
“Kamu pernah kehilangan?” Pertanyaan itu datang lagi.
Aku butuh jeda beberapa helaan napas, untuk menanyakan hal
serupa pada diriku sendiri, “apa aku pernah
kehilangan?”.
“Setiap yang hidup pasti pernah kehilangan, dengan kehilangan
yang hidup akan tetap dan terus bertumbuh, sebab dengan kehilangan sesuatu ia akan
terus mencari, menemukan, dan menghargai setiap kesempatan.” Entah pemahaman
dari mana, yang kutahu, ini pelajaran hidup.
“Aku kehilangan tiga orang paling berharga dalam hidupku,”
ujarnya.
“Dan itu membuatmu lupa akan satu hal yang juga paling
berharga dalam hidupmu.”
“Nothing else.” Sanggahnya, yakin.
“Ada.”
Kali ini ia mengubah posisi duduknya, menghadapku. “Tidak ada
hal lain,” ulangnya.
“Ada. Pulanglah, dan lihatlah cermin terbaik di rumahmu. You
will meet the most valuable in your life.”
“Apa artinya diriku kalau orang-orang paling berharga sudah
tidak ada lagi.” Kini posisinya kembali menghadap ke laut. “I’m not sure that
myself is precious without them.” Imbuhnya.
Angin semakin kencang, ombak semakin pasang, aku berusaha
semakin lapang. “Kalau hati orang seluas
samudera, apakah luka hatinya juga sedalam palung samudera? Bagaimana kubisa
menyelaminya.” Entahlah, aku hanya tidak boleh ikut tenggelam, meski itu
artinya aku tidak boleh membawa serta hatiku di sini—untuk orang yang telah
mengusik keberadaannya sekalipun.
“Kau tahu, kadang kita punya kesalahan konsep berpikir akan
kepemilikan dan kehilangan, tapi tak menyadarinya. Kadang kita merasa
kehilangan, padahal belum benar-benar memiliki, ini kata orang-orang yang
cintanya tak sampai. Tapi lucunya dari kehilangan orang-orang paling berharga
dalam hidup adalah, kita tidak menyadari bahwa diri kita juga bukan milik kita
sendiri.” Miris, ini seperti aku yang sedang mengingatkan diriku sendiri.
“Heh.... Kau benar. Mungkin aku terlalu konyol, atau kau yang
tak pernah merasa kehilangan?” Ujarnya bagai bumerang yang meluncur ke dadaku.
Tenggorokanku tercekat, sesuatu jatuh dari pelupuk mataku. “Sial!” Batinku. Kadang aku menyayangkan
perasaan wanita yang tercipta dengan mudahnya luruh rapuh, dan kuat tangguh
dalam satu waktu.
“Kau terlalu konyol dan membuatku merasa kehilangan untuk
pertama kalinya. Kalau saja kau tak sekonyol ini, mungkin aku juga tidak akan
merasa kehilangan seseorang yang dulu berjanji akan datang tapi justru
menghilang sampai aku sendiri yang menemuinya hari ini.” Ujarku, yang sekuat
tenaga kuredam lirih meski penuh penekanan. Detik berikutnya, dadaku terasa
lega. Segala beban perasaan yang ingin kuteriaki sedari tadi mulai lepas. Pelan
kumenoleh ke arahnya. Mata kami bertemu.
“Did you lost something?” Tanyanya lirih. Aku hanya
mengangguk, pasrah.
“Apa?” Lirihnya.
“Bukan apa, tapi siapa.” Jawabku tak kalah lirih.
“Itukah alasanmu datang ke mari?” Kini seolah ia menuntut.
Aku tak sanggup lagi mengeluarkan suara, hanya mengangguk yakin dan mataku
seakan penuh dan ingin tumpah. Lagi, perasaan yang selama ini tertahan seolah
meluap, terseret ombak menuju lautan lepas.
Aku tak sanggup menatapnya, lukanya terlalu dalam terlihat di
manik hitam yang masih menatapku lekat—luka yang menceritakan kehilangan yang
begitu dalam.
“Kuharap kau tidak membuatku melupakan tugas profesiku yang
mengirimkanku datang ke sini untuk menemui klienku, yang ternyata dia
adalah—Ah, memang sialan dengan profesi ini.” Gerutuku. Kini giliranku yang
melempar pandanganku di antar pergumulan ombak.
Terdengar ia terkekeh kecil, sembari menyenggol lenganku
dengan sikunya. Seorang terapis yang bertemu masa lalunya di tengah tugas
profesi yang sedang diemban, mungkin ini terdengar seperti kebetulan yang lucu
baginya.
“Lihat aku, mau?” Pintanya lembut, kali ini terdengar lebih
damai. Tak ada pilihan, aku bergeser dan menghadapnya, namun belum sanggup
untuk menatapnya.
“Lihat aku dan katakan apa yang kamu rasakan.” Pintanya lagi.
Aku menurut, kuangkat kepalaku dan mata kami bertemu pada satu titik. Ternyata,
luka di manik hitam itu sedikit demi sedikit telah memudar, tatapan teduh yang
dulu kudambakan kini mulai terasa kembali.
“Karena kamu kehilangan beberapa orang yang berharga di
hidupmu, aku jadi kehilangan seseorang yang berharga di hidupku. Orang itu
terus meneriaki luka kehilangannya, sampai ia tidak bisa menjadi dirinya
sendiri. Ia memilih pergi entah untuk mencari apa, untuk itulah aku kehilangannya.”
“Katakan padaku, siapa orang itu?” Tanyanya menuntut.
“Katakan padaku, siapa orang itu?” Tanyanya lagi.
“Ya kamulah, tolol banget sih pake nanya!” Ujarku kesal
sembari mendorong tubuhnya ke belakang. Ia terkekeh, sejenak. Kemudian tertawa
kecil sembari menatapku. Tiba-tiba ada bahagia yang menyergapku ketika
mendengar tawanya.
“Aku lucu ya? Atau konyol?” Tanyaku polos di antara tawanya.
Tiba-tiba ia berhenti.
“Enggak kok, aku yang lucu. Aku menertawakan diri sendiri
karena kekonyolanku.” Ujarnya, dikikuti kekehan kecil. Kali ini aku pun ikut
terkekeh.
“Sometimes we need to laugh at ourselves for whatever happens
because sometimes we are too reluctant to admit the real life.” Ujarku,
seperti mengingatkan diri sendiri. Ia mengangguk sependapat.
“Kamu tahu, gimana arti mereka untukku?” Tanyanya lirih,
sembari mengusap sudut matanya yang sedikit berair.
“Nggak cuma tahu, tapi paham. Paham banget sampai tiba-tiba
mereka pergi dan kamu sekacau ini, sampai menghilang berbulan-bulan tanpa ada
kabar.” Ujarku memberikan penekanan.
“Even, you forget that I’m all ears. Sampai kamu datang ke
psikolog untuk cari bantuan, sialnya justru aku yang ditugaskan mendengarkan
ceritamu di sini.” Imbuhku.
“Aku nggak tahu kamu tugas di sana.”
“Gimana mau tahu, kalau kamu seakan hilang entah kemana.”
“Maaf yaa, maaf. Ini terlalu berat, sampai aku nggak tahu
harus meletakkannya di mana.” Napasnya terdengar berat, menahannya beberapa
detik seakan sedang mempertimbangkan kalimatnya lagi.
“But, just now when I saw you coming, I felt like I was’t
losing.” Ujarnya tulus.
Malam ini, aku menemaninya menerima luka kehilangan
sebagaimana mestinya. Kehilangan orang-orang terdekat dan paling berharga dalam
hidup secara tiba-tiba pada suatu bencana, adalah kehilangan yang sangat
menyakitkan. Bahkan fase-fase kehilangan yang dilewati sulit dikatakan
sempurna.
____________________
17 Juli 2006, terjadi gempa bumi berkekuatan 6,8 Skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia dan menghantam sepanjang pesisir Jawa Barat. Gempa bumi yang berlangsung pada pukul 08.19 WIB tersebut menyebabkan tsunami setinggi 2 meter dan menghancurkan permukiman warga di sepanjang pesisir selatan Jawa. Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 mencatat, musibah tersebut menelan korban jiwa sedikitnya 668 orang, 65 orang hilang (diasumsikan meninggal dunia), dan 9.299 lainnya luka-luka. https://tirto.id/ddPy
____________________Kumpulan Cerpen: Keba(l)ikan
Ratna Asih | Juni 2020
Sumber Gambar: Pexels.com by Nur Huda
0 komentar