Tulisan: Mendekati Impian #1

September 20, 2016


Impian. Menurut Mutia Prawitasari dalam novel Teman Imaji: impian itu didekati bukan dikejar, sebab ia tak akan lari, ia hanya menggantung sampai diaraih, digapai, atau diwujudkan. Impian itu bahasa lainnya rejeki, kalau rejeki dicari maka impian didekati. Impian pun sama dengan rejeki, sudah ada simpulnya tapi dirahasiakan. Seperti kelahiran, jodoh, dan kematian, tujuannya supaya kita berusaha.

Impian tidak menuntut ruang dan waktu, ia hanya diam menggantung sejak kita merapalkannya. Diam menunggu kita mengupayakan mewujudkanya. Sebab impian tanpa upaya itu mimpi, tetap menjadi mimpi jika tidak diwujudkan. Bila perlu impian menjelma menjadi raga kedua yang siap membuat siapa saja kembali bangkit dari jatuhnya—kembali berusaha mendekatinya—impian.

Menurut Soekarno pada kalimatnya yang diabadikan di rak buku Perpustakaan Kementrian Keuangan RI: Bermimpilah setinggi langit, bila engkau jatuh maka jatuh di antara bintang-bintang.

Bila mana gagal dalam meraih impian, setidaknya kita sudah berusaha mencoba melompat bahkan terbang sekalipun. Bukankah gagal setelah mencoba itu lebih berharga, daripada gagal sebab tak pernah mencoba? Berharganya kegagalan adalah ketika kita banyak belajar darinya, lebih melapangkan keikhlasan untuk menerima, dan tidak berhenti berusaha.

Menurut Kurniawan Gunadi pada kumpulan prosa Hujan Matahari: Impian itu mestinya di antara bintang-bintang. Sebab ia tidak akan peduli siang malam, tidak akan peduli hujan badai, bintang-bintang tetap berada di atas awan. (Dalam prosa:Impian).

Maka sebenarnya impian tetaplah impian, meski perjuangan yang menantang mungkin hingga berujung gagal dan putus asa. Ia tetap menjadi impian sebagaimana mestinya—menggantung di langit menunggu diwujudkan. Tidak peduli sekeras apa perjuangan, selama apapun diperjuangkan, impian tidak akan pernah redup kecuali kita sendiri yang meredupkannya.

Terlalu banyak orang yang merasa kalah oleh keadaan, memutuskan menghentikan langkah menuju impian, bahkan menikam impiannya sendiri, menjauhkannya dari segala peredaran harapan. Padahal sebenarnya impian tidak peduli dengan keadaan. Cemooh, cibiran, ketidakyakinan orang lain itu adalah penguat diri supaya impian itu cukup dibuktikan pada diri sendiri bahwa kita melebihi apa yang kita pikirkan, tidak kalah dengan keadaan apalagi dengan pikiran orang lain.

Ehmm.. atau jangan-jangan pikiran orang lain itu sebenarnya adalah dukungan yang mengajak kita bercanda dan mempermainkan tekad? Ah, anggap saja itu kreativitas dukungan orang lain. Toh, impian tetap tidak peduli itu.

Pepatah lama mengatakan, “raihlah mimpi di langit tapi jangan lupa rumput di bumi”. Seperti analogi dari tokoh Banyu kepada Kica (novel: Teman Imaji by Mutia Prawitasari), berikut:
“Manusia tangannya dua, yang satu untuk mencapai cita-cita di langit, yang satu untuk berpegangan di bumi.” Kata Banyu kepada Kica.
“Kenapa kayak gitu?” Kica penasaran, menuntut penjelasan.
“Supaya walaupun sudah terbang tinggi, kaki kita tetap menapak tanah. Supaya tetap membumi dan rendah hati.”
“Terus?”
“Kalau jatuh ada yang megangin.”
“Bukannya kalau kita pakai kedua tangan sekaligus, lebih gampang sampai meraih mimpinya?”
“Iya, tapi kalau jatuh lebih susah bangunnya. Tidak ada yang bisa jadi pegangan.”
“Terus kita mestinya pegangan sama apa dong, Mas?”
“Sama agama, keluarga, dan sahabat sebab impian tidak akan ada artinya tanpa izin-Nya, tidak ada artinya tanpa orang-orang yang berarti.”
--
Untuk yang sedang mendekati (memperjuangkan) impian—impian itu mahal, bahkan matematika manusia kadang tidak cukup untuk menebusnya. Tapi ingat, Allah Maha Kaya. Semoga kita senantiasa paham kemana impian itu bermuara, kemana kita memilih jalan untuk meraihnya. Kadang kita berpikir impian yang kita pilih belum tentu impian yang Allah pilihkan untuk kita raih, maka selalu libatkan Allah pada setiap impian—jangan ragu.

Bahkan hanya karena alasan aku punya Allah, maka aku tetap berani bermimpi—Ori Rabowo, pada buku It’s Talking about Life, Lady and Love.

Tulisan ini dalam rangka menyemangati diri yang sedang menempuh perjuangan mendekati impian, mengingatkan diri akan pelajaran-pelajaran dari buku-buku yang pernah dibaca.


Banjarnegara, 20 September 2016
Tulisan: Mendekati Impian Bagian 1

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images