Mempertemukan
Oktober 09, 2016
Adakah yang lebih indah dari pertemuan yang tidak pernah
sekali pun terlintas dalam pikiran?—pertemuan dengan seorang yang pernah
menjadi harapan dan harapan itu kini entah menyeruak kemana—tertimbun ego-ego
mengejar impian yang mungkin lebih dahsyat.
Mendung. Sebentar lagi gerimis. Aku melangkah cepat menuju
halte. Halte Harapan namanya—ada kenangan
di sini. Sudah tiga tahun aku pergi dari kota ini, meninggalkan segala yang
bisa aku kenang. Ah, tiba-tiba dadaku terasa sesak, serasa ingin kukorek
lagi—masih adakah sebentuk nama yang kusimpan terlalu dalam, bahkan hingga aku
lupa di mana aku menyimpannya.
Lima belas meter lagi, Halte Harapan. Hujan turun dengan
derasnya, tanpa gerimis yang menjadi intro lagu hujan sore ini. Orang-orang
berhamburan mencari tempat berteduh, aku pun.
Haphaphap, kuambil langkah panjang. Selangkah lagi menuju
halte, aku tak bisa menghindari kubangan air, posisiku tak cukup dibilang
seimbang untuk menghindar.
Pyuukk... Kaki kananku menginjak kubangan air, seketika cipratan
melompat tak tentu arah. Aku berhenti, setengah terengah.
“Fyuuuh...” Desis keluh, seorang di samping kiriku. Mungkin
dia kena cipratannya, maaf. Ujarku
tak berucap. Kulirik seorang tadi perlahan. Cukup tinggi, ukuran perempuan dua
puluh tiga tahunan tanpa high heels. Aku tak berani menoleh, ia masih
menggerutu pada dirinya sendiri.
Sepuluh menit berselang, ia sudah tenang. Aku menoleh, ia
menunduk. Wajahnya diteduhi pet khimar segi empat yang mengulur sampai siku dan
seluruh punggungnya. Aku ikut menunduk, kaos kaki warna kulitnya tampak kotor
kecoklatan, mungkin terkena cipratan tadi—aku ingin menyapa tapi urung karena
itu. Hai, jam segini masih adakah bus ke
arah timur? Tanyaku tak berujung kalimat. Ah, untuk apa bertanya! Tidak
tapi aku butuh bertanya.
Kutengok orang-orang di sekelilingku, semua sibuk dengan
gadget masing-masing—kecuali seorang di samping kiriku.
“Mbak, bus ke timur lewat sini, kan?” iyalah ini kan halte harapan, bus ke semua arah pasti lewat sini.
Tanyaku akhirnya berujung kalimat. Pertanyaan
yang bodoh! Umpatku dalam hati.
“Iya, semua arah lewat sini,” jawabnya sembari menengok tipis
ke arahku. Dadaku bergetar entah untuk apa.
“Jam segini masih ada bus ke timur nggak ya Mbak?” tanyaku
lagi.
“InshaAllah masih, saya juga tidak pernah sesore ini menunggu
bus di sini, sejam yang lalu biasanya.” Kali ini ia menoleh empat puluh lima
derajat ke kanan, meski sama sekali tidak melihat ke arahku, setidaknya aku
melihat jelas wajah teduhnya.
Lututku lemas, tenggorokanku tercekat. Hujan yang turun serta
kendaraan yang lalu lalang seakan berhenti, semua seakan menyaksikanku yang
panas dingin entah akan membuncahkan apa.
“Mentari,” gumamku susah payah kukeluarkan, meski terdengar
sumbang. Aku lupa kapan terakhir kali mengucapkannya. Dadaku memberontak hebat.
Ia menoleh cepat. Mata kami bertemu pada satu titik. Lima
detik kemudian ia menarik lagi pandangnnya melempar jauh kebelakangku. Aku
menduga, dia juga mengalami yang aku alami barusan, kalimatnya tertahan di
tenggorokan—sakit sekali rasanya.
“Awan, aku Awan,” kamu
tidak lupa, kan?
“Mas Awan, apa kabar? Nyaris pangling, Mas. Nggak nyangka
juga ketemu di sini.” Sumringah sekali parasnya, masih seperti dulu.
Pertemuan sebab
hujan—lewat.
Senja seperti kemarin, kuputuskan untuk menunggu bus di halte
harapan. Semoga ada Mentari di senja ini.
Halte harapan tidak sepenuh kemarin. Beberapa calon penumpang
menunggu bus di luar halte bahkan beberapa belas meter dari halte, maklum senja
terang benderang tanpa hujan, tak perlu berteduh.
Jam yang sama seperti kemarin. Hanya saja aku tak menemukan
seorang yang membuatku menitipkan mobil ke teman, dan berjalan menuju halte
ini, untuk bisa pulang bersama dengan seorang itu.
Senja makin larut. Ia tak datang. Kupencet nomor pesan taxi,
aku pulang.
Tak ada temu—sebab tak
ada hujan.
Senja ini, hujan lebat sedari siang. Aku tidak menyerah,
tetap menunggu bus di Halte Harapan. Ini hari ke tujuh. Awal musim hujan aku
sudah siap jika memang kenangan itu akan hanyut bersama rintik-Nya.
“Mas Awan, naik bus lagi?” seorang menyapa dari belakang.
Aku:gugup.
“Eh, kamu. Dari kemarin nggak pulang ya?”
“Bisa ngebayangin, anak rumahan yang nggak pulang demi
kerjaan?”
“Yahhh siapa tahu sekarang jadi anak kantoran, soalnya
seminggu ini kayaknya kamu nggak kelihatan di sini deh.”
“Hmmm... nungguin?”
Iyalah... “kebetulan seminggu ini pulang naik
bus, nunggu di sini, tapi nggak bareng.”
“Oh, kalau hujan gini aku naik bus nuggu di sini. Kalau nggak
hujan, naik motor. Aku udah bisa naik motor lho.” Ia meringis seperti anak
kecil yang tersipu ketika dipuji. Aduhai manis sekali.
Kami terkekeh bersama. Aku berharap semoga negeri ini mulai
hari ini hanya punya satu musim—hujan.
Menjelang akhir musim hujan...
“Jadi satpam kantormu punya tugas tambahan ya? Jagain motormu
selama musim ini, kan?”
“Hahaha, benar Mas. Enak ya temanmu, tiap hari kalau pulang
nggak kehujanan, soalnya kamu titipin mobil sih.”
Aku terperanjat. Dari mana ia tahu? Kami tertawa bersama.
Hujan makin deras dibuat-Nya.
“Dek, ayah dan bunda di rumah?” Tanyaku penuh hati-hati.
“Kenapa tanya ayah bunda?”
“Aku mau minta tolong ditemani papa mama izin ke ayah bunda,
boleh?
“Untuk?”
“Supaya anaknya ayah bunda, mau diajak pulang bareng naik
mobil jadi nggak perlu nitip motor ke satpam dan aku nggak perlu nitip mobil ke
temen supaya bisa pulang bareng Adek.”
“Mas, aku nggak maksud.”
“Supaya aku halal, bawa kamu pulang. Musim hujan hampir
habis, bentar lagi kemarau. Kalau nggak hujan kamu nggak naik bis, terus kapan
kita ketemu?”
Kami terkekeh lagi. Pipinya merona, aku yakin aku juga demikian.
***
“Mas,”
“Ya.” Aku menoleh ke samping kiri kemudi.
“Kalau dipikir-pikir dulu kita ketemu lagi sebab apa ya?
Sebab hujan, kah?”
“Sebab Allah izinkan bertemu, dan hujan jadi perantaranya.”
-------------------------------------
Oleh : Ratna Asih
Kumcer (Kumpulan Cerpen) Sebab Hujan #2 | Mempertemukan
0 komentar