Rinai

Desember 28, 2020

 


Aku sedang menunggu seseorang. Kami sepakat bertemu di suatu kedai kopi yang dulu menjadi langganannya. Mungkin nanti ia akan kagum melihat beberapa perubahan kedai kopi sederhana yang kini menjadi coffee shop ala kekinian. Meski renovasi kedai ini nggak mengubah beberapa sudut ruang. Bahkan aku masih memilih tempat yang sama seperti dulu setiap kali ia mengajakku ke sini. Ya, ini adalah tempat favoritnya sejak dulu, setidaknya sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan kota ini—beserta suatu hati.

Kami sepakat bertemu pukul satu siang, tapi aku lebih memilih datang lebih awal karena suatu alasan menggelikan yang aku sendiri sulit sekali mengakuinya. Meski sejujurnya aku benar-benar menerima dan menikmati alasan itu. Aneh! Aku pikir juga begitu.

Aku memilih tempat di sudut ruangan dekat jendela depan kedai dan menghadap ke jalan yang nggak terlalu luas-- mirip gang di tengah pemukiman. Ini tempat favoritnya, yang akhirnya juga menjadi tempat favoritku. Aku lebih dulu memesan secangkir arabika dengan sedikit gula, secangkir affogato, seporsi cheese cake dan pisang mentega.

"Mbak, bisa dikasih semacam ucapan nggak?" Aku terpikir sesuatu, ketika teringat pesannya semalam—aku mau balik dan tinggal lagi di Jogja.

"Bisa Mas, ucapannya di tulis di sini ya." Aku menerima secarik kertas, meraih pulpen dan menuliskan sesuatu.

"Mbak, nanti dibawa ke meja saya kalau teman saya sudah datang, ya."

"Baik, Mas. Ini mau ditaruh di menu yang mana?"

"Di cheese cake, saja." Aku tersenyum puas, membayangkan ekspresinya yang merasa senang karena aku mengingat menu favorit kami di sini.

Oiya, namanya Rinai. Omong-omong, dia terdengar spesial bagiku, kan? Padahal kami hanya berteman. Iya, hanya berteman—teman  sangat dekat, dulu sebelum Rinai memutuskan pergi dan tanpa kabar setelahnya. Hingga semalam, pesan surel datang menyalakan binar yang sempat redup dua tahun belakangan ini. 

Hi, Banyu

Kedai favorit masih buka nggak ya? Temuan yuk!

Rinai 

Dua tahun tanpa kabar, Rinai mengirim surel seolah dia pergi hanya seminggu. Ada sesak yang sebenarnya menyeruak dalam dada, ingin membuncah tapi tercekat di kerongkongan. Menyedihkan sekaligus mengharukan! Bayangkan saja, aku laki-laki 28 tahun membatalkan rencana pertunangan karena perjodohan keluarga, karena terlambat menyadari perasaan tak biasa kepada temanku sendiri. Namun, ia tiba-tiba pergi tanpa kabar apa pun. Menyedihkan! Aku merasa seperti remaja SMP yang labil tanpa arah, bahkan nasibku mungkin lebih buruk dari cinta monyet mereka.

Dua tahun selama kepergiannya, beberapa kali aku berusaha mencarinya. Namun, minim sekali informasi dan selalu tanpa hasil. Aku hanya tahu Rinai pindah ke Singapura, tanpa tahu alamat tepatnya, tanpa tahu dia bekerja apa dan bersama siapa. Seluruh media sosialnya mati, pun seluruh akses komunikasinya. Teman-teman kami pun nggak ada yang tahu. Ada kabar yang membuatku akhirnya berhenti mencari di mana keberadaannya—seorang  teman kami mengatakan bahwa Rinai pergi karena patah hati, sebab aku akan bertunangan dengan gadis lain.

Damn!

Kau tahu, aku juga ikut patah mendengar itu. Namun, pada akhirnya aku nggak tahu kebenaran yang sebenarnya. Aku dan Rinai adalah teman dekat yang berbagi banyak cerita, tapi kami melewatkan satu cerita yang nggak pernah kami ceritakan: perasaan masing-masing. Bahkan, rencana pertunangaku dengan gadis lain pun itu tiba-tiba, karena perjodohan dan aku nggak sempat banyak bercerita padanya.

From Rinai

Sorry bakal telat nih, dua puluh menit maksimal, aku jalan dari depan gang.

Satu pesan masuk, membuyarkan ratapan nasibku sendiri. Aku geli membaca pesannya, ternyata dia masih senang naik bus dan harus turun di halte depan gang menuju kedai ini.

Beberapa saat berselang, mataku tak bisa lepas dari halaman parkir kedai. Bahkan aku sudah menantikan saat-saat seperti ini selama dua tahun, di tempat yang sama dan menunggu orang yang sama. Aku senang melihatnya dari jauh, memperhatikannya tanpa ia ketahui.

Beberapa detik kemudian, seorang wanita memasuki halaman parkir kedai. Ia menggunakan blouse hijau army dipadu dengan jilbab senada dihias aksen mutiara ditepinya serta kulot panjang warna hitam. Di pundak kanannya menggantung sling bag. Ia mengenakan flatshoes warna hitam dengan aksen pita di atasnya. Ia berjalan semakin mendekat, sementara sesuatu seakan mendobrak dadaku secara konstan. Tangannya meraih tombol pembuka pintu dan detik berikutnya setelah pintu terbuka, mata kami bertemu. Seolah dia tahu di mana aku memilih tempat duduk. Senyumnya mengembang dan aku benci dadaku yang bedegup lebih cepat dari biasanya.

"Hey. Kamu terlambat."

"Itu karena kamu yang datang duluan."

Ia menarik kursi di depanku. Kami saling memandangi satu sama lain. "Kamu nggak berubah," ujarnya begitu duduk. Kami tertawa, entah untuk menertawakan apa, rasanya kaku sekali.

"Jangan banyak bicara, aku tahu jalan kaki tiga ratus meter ke sini tentu membuatmu haus," kataku sembari meraih sesuatu dari dalam tas yang kuletakkan di sebelah kanan kursiku.

"Hahahaha, kamu paling ngerti," ia tertawa lagi setelah tanganku meletakkan sebotol air putih dalam tumbler di meja yang kemudian ia teguk seperempat isinya.

"Kamu hutang banyak cerita padaku," ujarku setelah ia kembali menutup tumbler itu.

"Aku akan membayarnya hari ini."

"Mana munkin selesai hari ini, kamu pergi dua tahun. Jangan kamu samakan dengan pergi seminggu."

"Hahaha, kamu masih saja lucu. Aku jadi merasa seperti anak yang kabur dari bapaknya."

"Kamu membuatku hampir mati konyol, kalau kamu tahu," ujarku dengan nada kesal. Ia seperti ingin mengatakan sesuat, tapi diurungkannya, karena seorang pelayan meletakkan segelas affogato di meja, di susul cheesse cake, arabika dan pisang mentega.

"Wow... Juaraaaa!" Iat tampak takjub dengan sajian di depannya. Sementara aku terkekeh melihat ekspresinya, sesuai harapanku tadi.

"Welcome home," ujarku ketika ia sedang mengamati sepiring cheesse cake di depannya.

"Kamu masih saja lebay, ya. Hahaha sungguh dua tahun ini aku kehilangan teman konyol sepertimu."

"Suruh siapa pergi?"

"Takdir, Nyu. Kita ini hujan yang mengalir mencari muara. Kalau aku nggak pergi, maka nggak ada kita hari ini di sini," ujarnya berubah serius, sebelum menyesap affogato. Ia seperti menahan sesuatu yang ingin ia katakan. Hingga suapan ke lima ia masih diam dan sibuk mengaduk isi cangkirnya.

"Masih suka affogato?" Tanyaku. Ia hanya mengangguk, dibarengi senyum yang sangat kurindukan.

"Jadi kemana saja kamu selama ini?" Tanyaku lagi.

"Aku seperti pergi kemana-mana, tapi sebenarnya nggak pernah kemana-mana. Aku selalu di sini, kan?"

Deg, iya di sini di dalam hatiku "Jangan bercanda, aku serius. Aku kebingungan mencarimu, kamu seperti hilang dari planet ini dan aku seperti alien yang konyol karena beberapa kali aku mencarimu ke Singapura tanpa petunjuk apa pun," jelasku.

"Haahha kamu lucu sekali ya dan segitunya kamu?"

"Cepat kamu cerita saja, hutang ceritamu banyak, kan?"

"Hahaha, oke oke. Jadi, waktu itu dua hari sebelum kamu bertunangan aku mendapat apply studi master di Singapura. Karena suatu hal, aku nggak sempat mengabarimu..”

Deg! Suatu hal... Dadaku terasa sesak.

“Aku langsung pulang ke Surabaya mengurus segala persiapan studi. Dua minggu setelah pulang, aku dipertemukan dengan teman kecilku yang ternyata juga sedang studi di kampus baruku. Sebulan setelah itu, kami menikah.”

Deg! Kali ini aku benar-benar menahan napas, menahan ekspresi apa pun yang ingin membuncah begitu saja.

“Awal-awal kuliah dan kehidupan baru membuatku sangat sibuk, sama sekali nggak ada teman yang tahu kepergianku..."

Ceritanya terus saja mengalir tentang kehidupan studinya, tentang apa pun yang selama ini ia lakukan, termasuk bagaimana ia bertemu dengan suaminya. Ya, dua tahun menghilang dan ia datang sebagai seorang istri, sementara selama itu aku terlalu kacau untuk sekadar berteman dekat dengan gadis lain.

Sungguh selama ia bercerita, aku hanya diam menyimak. Aku beruntung, laki-laki diciptakan untuk bisa mengordinasikan pikiran sehingga mampu mengendalikan emosi dan perasaannya. Kalau saja nggak seperti itu, mungkin aku sudah menangis tersedu karena telah menghadapi ini semua.

"Kau tahu? Aku berhasil menjadi lulusan terbaik. Aku baru saja diwisuda minggu lalu. Hemm.. ohya, kamu tahu dari mana kalau aku di Singapura?”

"Dari kantor lamamu."

"Yaa begitulah, Nyu. Aku selama dua tahun ini. Aku kembali ke Jogja, karena ikut suamiku yang sedang ada pekerjaan di sini. Mungkin sekitar setahun kami akan menetap di sini. Setelah itu kami kembali ke Singapura lagi, karena suamiku masih ada pekerjaan di sana. Kapan-kapan, kita double date yuk.” Matanya berbinar, antusias.

"Double date? Siapa saja?”

“Aku sama suamiku, kamu sama istrimulah. ”

"Aku belum nikah, pertunangan itu nggak ada."

Ia meletakkan sendoknya, aku meletakkan perasaanku sendiri. Nampaknya kisah dua anak manusia ini akan terus menjadi misteri yang sudah nggak perlu untuk dipecahkan lagi. Aku melewati hari ini dengan berusaha baik-baik saja setelah apa-apa yang aku alami selama dua tahun ini, tetap bisa membuatku bernapas. Hanya saja aku ingin menertawakan nasibku sendiri.

Sore itu berakhir dengan kedatangan CRV hitam yang sesaat kemudian melesat pergi. Rinai pulang dijemput suaminya. Sementara aku masih terdiam di tempat yang sama, memandangi bekas affogato miliknya.

---------------------------------

Kumpulan Cerpen: Dua Anak Manusia

Ratna Asih | Agustus 2020

Sumber Gambar: pexels.com by Igor Starkov

You Might Also Like

1 komentar

  1. Banyu dan Rinai mengalir mencari muaranya masing-masing ��

    BalasHapus

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images